MUHAMMAD ARIF SIAHAAN
PENDAHULUAN
Dalam sejarah perkembangan tasawuf,
Abu Yazid al-Bustami disebut sebagai sufi pertama yang membawa faham ittihad
(persatuan mistik, mystical union) dalam arti seorang telah merasa dirinya
bersatu dengan Tuhan, karena kesadarannya telah lebur bersatu dengan eksistensi
Tuhan. Munculnya faham ini telah menimbulkan sikap dan pandangan pro kontra di
kalangan ulama.
Tulisan ini berupaya mengkaji ulang
persoalan ini dalam sudut pandang pemahaman dunia tasawuf. Dunia tasawuf adalah
dunia rasa yang sarat dengan pengalaman spiritual yang seringkali berada di
luar lingkungan rasional. Perlu disadari bahwa sebelum terjadinya ittihad, seorang
sufi telah mengalami fana’ dan baqa’. Dalam kondisi demikian
tentu tidak bisa dipakai ukuran yang bisa digunakan untuk menilai suatu
ekspresi luar biasa (syathahat) yang keluar dari mulut seseorang yang
dalam keadaan sadar. Hanya sangat disayangkan pengalaman sufistik seperti itu
sering terungkap kepada khalayak hingga dipandang sebagai ucapan yang
menyesatkan karena secara lahiriah melanggar prinsip tanzih dalam ajaran
Islam.
B.Pembahasan
1.Riwayat
Hidup
Abu Yazid al-Bustami, nama
lengkapnya adalah Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-Bustami. Dia lahir sekitar
tahun 200 H (813 M) di Bustam, bagian Timur Laut Persia. Di Bustam ini pula ia
meninggal dunia pada tahun 261 H (875 M); dan makamnya masih ada hingga saat
ini (Fariduddinal-Attar, 1979: 100). Makamnya yang terletak di tengah kota
menarik banyak pengunjung dari berbagai tempat. Ia dikuburkan berdampingan
dengan kuburan Hujwiri. Nasiri Khusraw dan Yaqut. Pada tahun 1313 M. didirikan
di atanya sebuah kubah yang indah oleh seorang Sultan Mongol, Muhammad
Khudabanda atas nasehat gurunya Syekh Syafruddin, salah
seoarang
keturunan dari Bustam itu (Aboebakar Atjeh, 1984: 259). Abu Yazid adalah
seorang tokoh sufi yang terkenal pada abad ketiga Hijriyah. Kakeknya Surusyan
adalah seorang penganut agama Zoroaster, yang kemudian masuk Islam. Sedikit
sekali orang mengetahui tentang sejarah hidupnya. Jika tidak ada pengarang
seperti at-Attar, orang tidak mengenalnya sama sekali. Siapa Abu Yazid itu,
beberapa catatan mengenai hidupnya hanya berupa anekdot-anekdot sufi belaka
(Fariduddinal-Attar, 1979: 101-105).
Sebelum Abu Yazid mempelajari
tasawuf, ia belajar agama Islam menurut mazhab Hanafi. Kemudian ia memperoleh
pelajaran tentang ilmu tauhid dan hakikat, begitu juga tentang ilmu tauhid dan
hakikat, begitu juga tentang fana’ dari Abu Ali Sindi. Dia tidak
meninggalkan tulisan, tetapi pengikut-pengikutnyalah mengumpulkan
ucapan/ajaran-ajarannya (Aboebakar Atjeh, 1984: 135-136).
Abu Yazid adalah seorang zahid yang
terkenal. Baginya zahid itu adalah seoarang yang telah menyediakan dirinya
untuk hidup berdekatan dengan Allah. Hal ini berjalan melalui tiga fase, yaitu
zuhud terhadap dunia, zuhud terhadap akhirat dan zuhud terhadap selain Allah.
Dalam fase terakhir ini ia berada dalam kondisi mental yang menjadikan dirinya
tidak mengingat apa-apa lagi selain Allah.
Abu Yazid merupakan seorang tokoh sufi
yang membawa ajaran yang berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf sebelumnya.
Ajaran yang dibawanya banyak ditentang oleh ulama Fiqh dan Kalam, yang menjadi
sebab ia keluar masuk penjara. Meskipun demikian, ia memperoleh banyak pengikut
yang percaya kepada ajaran yang dibawanya. Pengikut-pengikutnya menamakannya
Taifur. Kata yang diucapkannya seringkali mempunyai arti yang begitu mendalam,
sehingga jika ditangkap secara lahir akan membawa kepada syirik, karena
mempersekutukan antara Tuhan dengan manusia.
Memang dalam sejarah perkembangan
tasawuf, Abu Yazid dipandang sebagai pembawa faham al-fana’ dan al-baqa’
serta sekaligus pencetus faham al-ittihād; dan A. J. Arberry
menyebutnya sebagai “first ofthe ‘intoxicated’ sufis”. (Orang pertama dari kaum
sufi yang mabuk kepayang) (A. J. Arberry, 1979: 54).
Apa
yang dimaksud dengan al-fana’, al-baqa’ dan al-ittihād yang
menjadi inti dari ajaran tasawuf Abu Yazid ini akan diuraikan pada bagian kedua
berikut ini, yang disertai dengan beberapa penilaian orang dan analisa
seperlunya. Terakhir, bagaian ketiga, akan dirumuskan beberapa kesimpulan.
2.
Ajaran Tasawuf Abu Yazid
Irfan Abdul Hamid Fattah Mengatakan
bahwa dalam sejarah perkembnagan tasawuf, Abu Yazid al-Bustami dipandang
sebagai pembawa arah timbulnya aliran “kesatuan wujud” atau ittihad (Irfan
Abdul Hamid Fattah,1973: 169). Perkembangan ajaran tasawauf ke arah ini
digambarkan oleh Prof. Dr. H. Aboebakar Atheh sebagai berikut:
Lalu
sampailah pada abad yang ke-III orang membicarakan
latihan
rohani, yang dapat membawa manusia kepada Tuhannya.
Jika
pada akhir abad ke-II ajaran sufi merupakan kezuhudan
(asceticisme),
dalam abad ke-III ini orang sudah meningkat kepada
wusul
dan ittihad dengan Tuhan (mistikisme). Orang sudah ramai
membicarakan
tentang lenyap tentang kecintaan, fana fil mahbub,
bersatu
dengan kecintaan, ittihād fil mahbub, bertemu dengan
Tuhan,
liqa’; dan menjadi satu dengan Dia. ‘ainul jama’ sebagai
yang
diucapkan oleh Abu Yazid Bisthami (Aboebakar Atheh, 1984:169).
Sebelum seorang sufi memasuki tahap
persatuan dengan Tuhan (al-ittihād), ia harus terlebih dahulu dapat
menghancurkan dirinya melalui fana’. Penghancuran diri (fana’)
dalam khazanah sufi senantiasa diiringi
dengan baqa’. Apa yang disebut dengan fana’ dan baqa’ itu
?
1. Al-Fana’ dan Baqa’
Secara logawi, fana’ berarti
hancur, lebur, musnah, lenyap, hilang atau tiada; dan baqa’ berarti
tetap, kekal, abadi atau hidup terus (l;awan dari fana’). Fana’ dan
baqa’ merupakan kembar dua dalam arti bahwa adanaya fana’ menunjukkan
adanya baqa’. Dalam istilah R. A. Nicholson dikatakan:
“The
complement and consummation of death to self (fana’) is everlasting life
in God (baqa’)” (R. A. Nicholson, 1973: 214). Yakni, “Kelengkapan dan
kesempurnaan dari leburnya pribadi (fana) ialah kehidupan abadi di dalam wujud
Tuhan (baqa)”. Hal ini memang dapat dilihat dari faham-faham sufi berikut :
- من فنى
عن المخالفات بقى فى الموافقات
- من فنى
عن الأوصاف المذمومة بقى بالاوصاف المحمودة
- من فنى
عن أوصافه بقى بأوصاف الحق
-
Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, yang akan tinggal ialah
taqwanya.
-
Siapa yang menghancurkan sifat-sifat (akhlak) yang buruk, tinggal baginya
sifat- sifat yang baik.
-
Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, tinggal baginya sifat-sifat Tuhan.
(Harun Nasution, 1973: 80)
Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti
penghancuran diri yaitu al-fana’‘an al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’
‘an al-nafs ialah hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang terhadap
wujud tubuh kasarnya dan alam sekitarnya. Al-Qusyairi tentang ini mengatakan :
فناؤه عن
نفسه و عن الخلق بزوال إحساسه بنفسه وﺑﻬم.......
فنفسه موجودة والخلق موجودون ولكنه لا علم له ﺑﻬم ولابه
Fananya seseorang dari dirinya dan
dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan
tentang makhluk
lain
itu……. Sebenarnya dirinya ada dan demikian pula makhluk lain ada. Tetapi Ia
tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya(Al-Qusyairi, t.th: 37).
Dr. Ibrahim Basyuni, setelah
mengumpulkan beberapa definisi pengertian fana’ ini sebagai berikut :
الفناء حالة
نفسية تنمحى فيها علائق الانسان بالكون والنفس دون ان تنحى بشريته
Fana, keadaan jiwa yang menghilangkan hubungan manusia dengan
alam dan raganya, bukan menghilangkan wujud kemanusiaannya (Ibrahim Basyuni,
t.th: 239).
Dalam
hal pengertian fana’ ini, di dunia tasawuf, kata Dr. Ibrahim Madkur
berarti :
نظرية تتلخص فى
ذهاب الحس والوعى وانعدام الشعور بالنفس و بالعالم الخارجى، وانمحاء العبد فى جلال الرب , فيفنى العبد فى شخصه
, و يبقى فى ربه , بعد
مجاهدة و مجالدة و تصفية للنفس
Teori yang pada
kesimpulannya menjelaskan tentang hilangnya kesadaran dan perasaan pada diri
dan alam sekitar, terhapusnya seorang hamba di dalam kebesaran Tuhan, sirnanya seorang
hamba terhadap wujud diri-nya dan kekal (tinggal) di dalam wujud Tuhannya
setelah melewati perjuangan dan kesabaran serta pembersihan jiwa (Ibrahim
Madkur, 1979: 141).
Dan dalam masalah ini pula,
Nicholson mengatakan : To Pass away from self (fana’) is to realize that
self does not exist, and that nothing exista except God (tauhid)” (R. A.
Nicholson, 1973: 50).Sebenarnya dalam sepanjang sejarah tasawuf, istilah fana’
kata Nicholson, memiliki beberapa tingkatan, aspek dan makna. Semuanya
dapat diringkaskan sebagai berikut :
a.
Transformasi moral dari jiwa yang dicapai melalaui pengendalian nafsu dan
keinginan.
b. Abstarksi
mental dan berlakunya pikiran dari seluruh objek persepsi, pemikiran, tindakan
dan perasaan; dan dengan mana kemudian memusatkan fikiran tentang Tuhan. Yang
dimaksud dengan memikirkan Tuhan adalah memikirkan dan merenunggi
sifat-sifat-Nya.
c. Berhentinya
pemikiran yang dilandasi kesadaran. Tingkat fana yang tertinggi akan tercapai apabila kesadaran tentanag
fana itu sendiri juga hilang. Inilah yang oleh para sufi dikenal “kefanaan dari fana” atau
lenyapnya kesadaran tentang tiada (fana’ al-fana’) (R.A. Nicholson,
1975: 60-61).
Selanjutnya, kata Nicholson, tahap
terakhir dari fana’ adalah lenyapnya diri secara penuh, yang merupakan bentuk
permulaan dari baqa,yang artinya berkesinambungan di dalam Tuhan (Nicholson,
1975: 61). Dengan demikian jelaslah bahwa dalam faham fana ini, materi manusianya
tetap ada dan sama sekali tidak hilang atau hancur, yang hilang hanya kesadaran
akan dirinya sebagai manusia. Ia tidak merasakan lagi akan eksistensi jasad
kasarnya. Nicholson mengertikan faham ini sebagai: fana the passing-away of the
Sufi from his phenomenal existence, in volves baqa’, the continuance of
his real existence. He who dies to self lives in
God,
and fana, the consummation of this death, marks the attainment or baqa’,
or union with the divine life” (Nicholson, 1973: 149). Yakni, “Fana, sirnanya
sufi terhadap wujud dirinya, masuk ke dalam baqa, kesinambungan wujudnya yang
sebenarnya. Dia orang yang kelihatan pribadi, hidup bersama Tuhan, dan fana,
kesempurnaan dari kematian (kehancuran) ini, menandakan tercapainya baqa, atau
persatuan dengan kehidupan Ilahi”. Al-Junaid, sebagaimana dikemukakan oleh
Ibrahim Basyuni, menggambarkan fana’ sebagai “sirnanya daya tangkap hati
terhadap yang
bersifat
indrawi karena menyaksikan sesuatu, maksudnya lenyap segala yang ada dihadapan
serta segala sesuatu dari serapan indrawi sehingga tidak ada sesuatu yang dapat
diraba dan dirasakan” (Ibrahim Basyuni, t.th: 238).
Abu Yazid al-Bustami, yang dalam
sejarah tasawuf dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan faham fana dan
baqa ini mengartikan fana sebagai hilangnya kesadaran akan eksistensi diri
pribadi (al-fana’ ‘an al-nafs) sehingga ia tidak menyadari lagi akan
jasad kasarnya
sebagai
manusia, kesadarannya menyatu ke dalam iradah Tuhan, bukan menyatu dengan wujud-Nya
(Team Penyusun Naskah, 1981-1982: 72). Lebih jelas lagi faham ini tersimpul
dalam kata-katanya :
-
Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu
pada-Nya melalui diri-Nya maka akupun hidup.
Dan
katanya pula :
- Ia
membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati; kemudian Ia membuat aku gila
pada-Nya, dan akupun hidup, ………..aku berkata : Gila pada diriku adalah
kehancuran dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup. (Harun Nasution,1973: 81)
Jadi kalau seoarang sufi telah mencapai
al-fana’ ‘an al-nafs, yaitu kalau wujud jasmaniah tidak ada lagi yaitu kalau wujud
jasmaninya tidak ada lagi (dalam arti tidak disadarinya lagi) maka yang akan
tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu dengan Tuhan.
Dan kelihatannya persatuan denngan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya
al-fana’ ‘an al-nafs.
Daftar
Pustaka
http://sunniy.wordpress.com
Nasution,
Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta :Bulan
Bintang, 1973.--------------------- , Teologi Islam, (Jakarta :
UI Press, 1986).
O’Riordan,
Linda, Seni Penyembuhan Sufi, Jalan Meraih Kesehatan Fisik, Mental dan
Spritual Secara Holistik, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002).
Siddiq,
Moch, Mengenal Ajaran Tarekat dalam Aliran Tasawuf (Surabaya :
Putra Pelajar, 2001) Cet. Ke-1.
Syukur,
Amin, Zuhud Di Abad Modern, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1997) Cet. Ke-1
Valiuddin,
Mir, Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf, (Bandung : Pustaka
Hidayah, 1996).