Menurut
ahli bahasa, kata Ma’rifat diambil dari kata ‘Arafa, Ya’rifu, ‘Irfan,
Ma’rifatan, semua ilmu disebut Ma’rifat, dan semua Ma’rifat adalah ilmu, dan
setiap orang memiliki ilmu (‘alim) tentang Allah SWT. berarti seorang yang
‘arif, dan setiap yang ‘arif berarti ‘alim. Berdasarkan pengertian ini orang
yang berma’rifat adalah orang yang memiliki ilmu (‘arif).
Al-Ghazali
berpendapat bahwa ada empat hal yang harus dikenal atau diketahui dan kemudian
dipelajari oleh sesorang sehingga ia disebut berma’rifat, ke empat hal tersebut
ialah:
1.
Mengenal
siapa dirinya.
2.
Mengenal
siapa Tuhannya.
3.
Mengenal
Dunianya.
4. Mengenal Akhiratnya.
Dalam
teori lain, Ma’rifat diambil dari kata A’rafa, Yu’rifu, Irafan tetapi memiliki
makna berbeda, seperti dalam surat al-A’raf yang berpengertian tempat tertinggi
(tempat tertinggi antara Surga dan Neraka), yang akar katanya diturunkan dari
‘Irfan yang sesuai (dengan Firman Tuhan Artinya : “ Dan di antara keduanya
(penghuni surga dan neraka) ada batas; dan di atas al-A’raf itu ada orang-orang
yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka …”
(Q.S Al-A’raf : 46)
Jalaluddin
Rahmat menegaskan secara tekstual bahwa al-Araf adalah dinding antara surga dan
neraka “Di dalamnya ada rahmat dan di luarnya ada siksa” (Q.S 57 : 13) yakni
disebelah dalamnya –yang terletak berdekatan dengan surga– ada rahmat, dan
disebelah luarnya dari situ ada siksa neraka, yang terletak di dekat sisi
tersebut. Di atasnya adalah meraka yang perbuatan buruk dan baiknya seimbang
pada timbangan (pengadilan) mereka, sehingga meraka melihat ke neraka dengan
satu mata mereka dan melihat ke surga dengan mata yang lain. Tetapi tidak ada
pengaruh yang lebih besar dari amal-amal mereka dari kedua arah tersebut, yang
membuat Tuhan –Yang Maha Agung– cenderung memasukan mereka ke dalam satu dari
tempat tersebut.
Inilah
yang telah dikatakan, atau al-A’raf ini juga bisa diturunkan dari al-‘urf (bulu
tengkuk kuda); yakni rambut “orang penting” di atas lehernya, dan dari
al-‘urfa, yang merupakan bukit pasir “tinggi” –dalam kasus al-A’raf terdapat
ungkapan ketinggian posisi mereka, kemuliaan dan keagungan hakikat-hakikat
mereka. Penghuni al-A’raf, karena itu, adalah mereka yang telah menjadi
sempurna dalam pengetahuan dan pemahaman batin, yang mengetahui tiap-tiap
kelompok diantara manusia dengan tanda-tanda mereka. Dengan cahaya penglihatan
batin dan kearifan mereka melihat ahli surga dan neraka, sebagaimana
keadaan-keadaan mereka di dunia lain. Sabda Nabi Muhammad SAW. Artinya :
“Berhati-hatilah terhadap Firasat orang-orang mukmin, karena ia melihat hal-hal
dengan Cahaya Tuhan” (H.R. Attirmidzi).
Kata
Ma’rifat secara harfiah atau semantik dapat diartikan mengenal atau mengetahui
dan dapat diperluas lagi pengertianya menjadi cara mengetahui atau mengenal
eksistesi Tuhan. Sedangkan dalam al’Qur’an surat al-A’raf ayat 46, kata yang
serupa dengan Ma’rifat yaitu al-A’raf yang diambil dari kata ‘irfan dapat
diartikan sebagai tempat tertinggi antara surga dan neraka.
Adapun
pengertian Ma’rifat dalam segi istilah bisa kita lihat dari perkembangan
beberapa tokoh-tokoh sufi yang hidup dari zaman ke zaman. Berdasarkan data
historis, nilai-nilai Ma’rifat sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. yang
terangkum dalam tingkatan ajaran pokok agama Islam yaitu “Ihsan”, bahkan Nabi
pun yang memberikan pengertian tentang arti dari Ihsan bahwa “..Engkau
hendaklah beribadat kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, sekiranya
engkau tidak melihat-Nya, maka ketahuilah bahawa Dia senantiasa melihatmu… “ .
berkaitan dengan pendapat Ibnu ‘Atha’illah yang mengemukakan bahwa Ihsan
merupakan penegasan ke-Esaan Tuhan dengan akal, mata, yakin dan kotemplasi.
Para
tokoh sufi pada abad ke 3 Hijriyah, yang dipelopori oleh Rabi’ah al-Adawiyah
ditanya : “apakah engkau melihat Tuhan yang kau sembah ?” maka Rabi’ah
menjawab: “Jika aku tidak melihat-Nya, maka aku tidak akan menyembah-Nya”.
Mengenai Ma’rifat Rabi’ah sendiri berkata : “Buah dari ilmu ruhani adalah agar
engkau palingkan mukamu dari makhluk agar engkau dapat memusatkan perhatianmu hanya
kepada Allah saja, karena Ma’rifat itu mengenal Allah dengan sebaik-baiknya”
Diperkuat
lagi oleh seorang tokoh sufi yang hidup sesudah masa Rabi’ah yaitu Dzu an-Nun
al-Mishri mengemukakan bahwa hanya kepada kaum sufi yang sanggup “melihat”
Tuhan dengan hati sanubarinya karena kecintaan kepada Tuhan, maka Ma’rifat
dimasukkan Tuhan kepada hati seorang sufi tersebut, sehingga hatinya penuh
dengan cahaya. Menurut Dzu an-Nun al-Mishri, Ma’rifat merupakan ahwal (keadaan)
yang diperoleh semata-mata kerunia dari Tuhan. Hal ini dipertegas dalam satu
ungkapan : “…Aku mengenal Tuhanku melalui Tuhanku, dan sekiranya bukan karena
Tuhanku, aku tidak akan mengenal Tuhanku”
Al-Muhasibi
juga berbicara pula tentang Ma’rifat. Ia sangat berhati-hati dalam menjelaskan
agama, dan tidak mendalami pengertian batin agama yang dapat mengaburkan
pengertian lahirnya dan menyebabkan keraguan. Dalam konteks ini pula ia
menuturkan sebuah hadits Nabi yang berbunyi, “pikirkanlah makhluk-makhluk Allah
dan jangan coba-coba memikirkan Dzat Allah sebab kalian akan tersesat
karenanya”. Berdasarkan hadits ini dan hadits-hadits senada, al-Muhasibi
mengatakan bahwa Ma’rifat harus ditempuh dengan tasawuf yang berlandaskan
Assunah. Sebab itu ia membagi tahapan Ma’rifat kedalam empat tahap, antara
lain:
1. Taat. Awal dari kecintaan pada Allah
adalah taat, yaitu wujud konkrit ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan pada
Allah hanya dapat dibuktikan dengan ketaatan, bukan sekedar pengungkapan cinta
semata.
2. Mengekspresikan kecintaan pada Allah
dengan ungkapa-ungkapan, tanpa pengamalan merupakan kepalsuan semata. Di antara
implementasi kecintaan kepada Allah Allah adalah memenuhi hati dengan sinar.
Kemudian sinar ini melimpah pada lidah dan anggota tubuh lainnya.
3. Aktivitas anggota tubuh yang telah
disinari oleh cahaya yang memenuhi hati, merupakan tahap Ma’rifat selajutnya.
Tuhan menyingkapkan khazanah-khazanah terhadap orang yang telah menempuh kedua
tahap diatas.
4.
Tercapainya
“fana” yang menyebabkan “baqa”.
Pendapat
al-Muhasibi tersebut, seiring pula dengan al-Ghazali, sebagaimana dijelaskan
oleh Harun Nasution bahwa Ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan
mengetahui peraturan-peraturan Allah tentang segala yang ada. Seterusnya
al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai Ma’rifat tentang Tuhan, yaitu
‘arif, tidak akan mengatakan Ya Allah atau Ya Rabb karena memanggil Tuhan dengan
kata-kata seperti ini menyatakan, bahwa Tuhan berada di belakang tabi.
Dari
beberapa pendapat sufi terdahulu yang dikemukakan diatas, berkembang lagi pada
masa modern seputar abad 20 - 21 dan menjadi pembicaraan di kalangan pemikir
Islam sekarang, misalnya menurut Harun Nasution (1919) sebagaimana dengan
Mahabbah dan Ma’rifat,. Para sufi terdahulu menyebutkan Ma’rifat merupakan
Ahwal (keadaan), dan al-Qusyriyah menyebutkan, Ma’rifat merupakan Maqam. Juga
berlainan urutan yang diberikan kepada Ma’rifat dalam susunan yang terdapat
dalam buku-buku Tasawuf. sedangkan al-Ghazali dalam Ihya memandang bahwa
Ma’rifat datang sesudah Mahabbah, ada juga yang berpendapat bahwa Ma’rifat dan
Mahabbah datang secara beriringan dengan kata lain Ma’rifat dan Mahabbah merupakan
dua aspek dari hubungan rapat yang ada antara sufi dan Tuhan.
Dengan
demikian, pengertian Ma’rifat dapat disimpulkan bahwa Ma’rifat adalah maqam
sekaligus ahwal dalam mengetahui atau mengenal Tuhan melalui tanda-tanda
kekuasan-Nya yang berupa makhluk-makhluk Ciptaan-Nya, sehingga ‘arif dapat
merasakan kedekatan dengan Tuhan. Dapat diperluas lagi menjadi “cara”
mengetahui atau mengenal Tuhan melalaui eksisitensi ciptaan-Nya, kalau mata
yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan
tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya adalah Allah. Yang dilihat orang ‘arif
baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah
DAFTAR
PUSTAKA
·
http://kumpulanresume.blogspot.com