Dalam literatur studi keislaman,
nama al-Kindi disebut-sebut sebagai peletak dasar filsafat Islam. Usaha
al-Kindi kemudian diteruskan oleh al-Farabi, Ibnu Sina dll. Namun, kalangan
orientalis menganggap bahwa kerangka kajian filsafat Islam seluruhnya dari Yunani.
Pandangan ini mengisyaratkan bahwa filsafat Islam tidaklah orisinil. Anggapan
ini tidak sepenuhnya diterima, pasalnya para filosuf Muslim seperti al-Kindi
dsb. telah mengubah pemikiran Yunani agar sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran
Islam. Oleh karena itulah, penulis berusaha melihat bagaimana upaya al-Kindi
dalam mentransmisikan filsafat Yunani ke dalam prinsip-prinsip ajaran Islam,
khususnya filsafat metafisika. Namun sebelum itu akan penulis ulas biografinya
terlebih sebagai upaya memahami pribadi al-Kindi.
B. Biografi al-Kindi
Nama lengkap al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin Shabbah bin Imran
bin Ismail bin Muhammad bin al-Asy’ats bin Qais al-kindi. Menurut Ahmad Fuad
al-Ehwany, Yahunna Qomeer dan Henry Carbin, al-Kindi dilahirkan pada tahun 185
H./801 M. dan menurut Corbin lagi, ia meninggal pada tahun 260 H./ 873 M. yakni
tahun dimana Imam al-Asy’ari dilahirkan. Ia hidup pada masa kekhalifahan
al-Amin (809-813), al-Ma’mun (813-833), al-Mu’tasim (833-842), al-Watsiq
(842-847) dan al-Mutawakkil (847-861).
Al-Kindi dilahirkan di Kufah dari keluarga kaya dan terhormat. Kakek buyutnya
al-Asy’as bin Qais adalah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang gugur sebagai
syuhada’ bersama Sa’ad bin Abi Waqqas dalam peperangan antara kaum Muslimin
dengan Persia di Irak. Sementara itu ayahnya, Ishaq bin Shabbah, adalah
Gubernur Kufah pada masa pemerintahan al-Mahdi (775-785 M) dan ar-Rasyid
(786-809 M). Ayahnya meninggal ketika ia masih usia kanak-kanak, namun ia tetap
memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu dengan baik.
Ia adalah sosok yang gemar mempelajari berbagai disiplin ilmu, karena minatnya
yang tinggi itulah, ia pindah dari Kuffah menuju Bashrah, sebuah pusat studi
bahasa dan ilmu kalam. Kemudian ia pindah dan menetap di Baghdad, yang juga sebuah
jantung kehidupan intelektual pada masa itu. Di kota inilah, ia menekuni ilmu
sain dan filsafat.
Al-Kindi hidup pada masa penerjemahan besar-besaran karya-karya Yunani ke dalam
bahasa Arab. Sejak didirikannya Bait al-Hikmah oleh al-Ma’mun, al-Kindi sendiri
turut aktif dalam kegiatan penerjemahan ini. Di samping menerjemah, al-Kindi
juga memperbaiki terjemahan-terjemahan sebelumnya. Karena keahlian dan keluasan
pandangannya ia diangkat sebagai ahli di istana dan menjadi guru putra Khalifah
al-Mu’tasim.
Selain itu, ia juga termasuk seorang yang kreatif dan produktif dalam kegiatan
tulis-menulis. Ia telah menulis hampir seluruh ilmu pengetahuan yang berkembang
pada saat itu. Dan informasi yang diperoleh dari Tony Aboud, selama hidupnya
al-Kindi kira-kira telah merampungkan sekitar 200 hingga 270 buku dan artikel.
Akan tetapi amat disayangkan kebanyakan karya tulisnya telah hilang sehingga
sulit menjelaskan berapa jumlah karya tulisnya.
Pada dasarnya Al-Kindi menyadari bahwa banyak dari kalangan umat Islam yang
antipati terhadap filsafat yang berasal dari peradaban Yunani, karena itulah ia
berusaha memperkenalkan filsafat ke dalam dunia Islam dengan cara mengetok hati
umat Islam supaya menerima kebenaran walaupun dari mana sumbernya. Menurutnya,
antara agama dan filsafat tidaklah bertentangan, karena masing-masing dari
keduanya itu adalah ilmu tentang kebenaran. Ilmu filsafat membahas tentang
ketuhanan, keesaan-Nya dan keutamaan serta membahas apa-apa yang bermanfaat
bagi manusia. Hal seperti ini juga dibawa oleh para rasul Allah yang mereka
juga menetapkan keesaan Allah dan mengajarkan sesuatu yang bermanfaat bagi
manusia.
Al-Kindi juga menantang kepada siapapun yang tidak senang terhadap filsafat.
Menurutnya, jika ada yang orang yang mengatakan bahwa filsafat itu tidak
diperlukan, mereka harus memberikan argument dan menjelaskannya. Usaha
mengemukakan argument tersebut, sejatinya bagian dari pencarian pengetahuan
tentang hakikat sesuatu. Untuk sampai pada yang dimaksud, secara logika, mereka
perlu memiliki pengetahuan filsafat. Jadi filsafat itu harus dimiliki dan
dipelajari.
C. Karyanya
Sebagai seorang filosuf yang sangat produktif, berdasarkan informasi yang
diperoleh dari Tony Aboud, selama hidupnya al-Kindi kira-kira telah
merampungkan sekitar 200 hingga 270 buku dan artikel dalam berbagai bidang
ilmu. Dalam bidang filsafat di antaranya adalah:
1. Kitab al-Kindi ila al-Mu’tashim Billah fi al-Falsafah al-Ula (tentang
filsafat pertama);
2. Kitab al-Falsafah al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyah wa al-Muqtashah
wa ma Fawqa al-Thabi’iyyah (tentang filsafat yang diperkenalkan dan
masalah-masalah logika dan muskil serta metafisika);
3. Kitab fi Annahu la Tanalu al-Falsafah illa bi ‘Ilmi al-Riyadliyyah (tentang
filsafat tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matematika);
4. Kitab fi Qashd Aristhathalis fi al-Maqulat (tentang maksud Aristoteles dalam
kategori-kategorinya);
5. Kitab fi Ma’iyyah al-‘Ilm wa Aqsamihi (tentang ilmu pengetahuan dan
klasifikasinya);
6. Risalah fi Hudud al-Asyya’ wa Rusumiha (tentang definisi benda-benda dan
uraiannya);
7. Risalah fi Annahu Jawahir la Ajsam (tentang substansi-substansi tanpa
badan);
8. Kitab fi Ibarah al-Jawami’ al-Fikriyah (tentang ungkapan-ungkapan mengenai
ide-ide komprehensif);
9. Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al_ruhaniyah ( sebuah tulisan filosofis tentang
rahasia spiritual);
10. Risalah fi al-Ibanah ‘an al-‘Illat al-Fa’ilat al-Qaribah li al-Kawn wa
al-Fasad (tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam
kerusakan).
D. Pemikiran tentang Metafisika
Setiap pemikiran selalu mencerminkan zamannya. Ia merupakan hasil dari
interaksinya dengan sejarah yang melingkupinya. Diskusi tentang metafisika ini
sudah dimulai dari masa Yunani Kuno yang mempersoalkan tentang being atau “yang
ada”. Pada abad VII M wilayah Islam telah mencakup Mesir, Syiria, Mesopotamia
(Irak), dan Persia. Peristiwa ini menandakan dimulainya kontak antara Islam dan
filsafat Yunani, karena filsafat Yunani telah masuk dan berkembang di daerah
ini. Kegiatan penterjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab itulah yang
mengantarkan intelektual Muslim untuk angkat bicara mengenai filsafat,
khususnya filsafat metafisika, al-Kindi termasuk salah satu pelopor utamanya.
Metafisika (Bahasa Yunani: μετά (meta) = "setelah atau di balik",
φύσικα (phúsika) = "hal-hal di alam") adalah cabang filsafat yang
mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Menurut
Aristoteles, metafisika adalah disiplin ilmu yang mempelajari tentang
‘keadalahan’ sesuatu (being qua being) dan ciri-ciri sejati (properties
inherent) atas segala sesuatu. Metafisika membahas sesuatu yang sangat umum dan
mendasar. Jika diterapkan dalam kajian manusia, maka yang dibahas adalah apa
itu manusia, dari mana asalnya, siapa yang menciptakan, untuk apa manusia
diciptakan dan apa saja yang membuatnya bahagia dan sedih. Begitu juga jika
diterapkan dalam kajian alam, metafisika akan mempertanyakan apa itu alam,
siapa yang menciptakan alam, untuk apa alam diciptakan dan. Jadi
pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar inilah yang dikaji oleh metafisika.
Memaknai metafisika Al-Kindi lebih sepesifik dari Aristoteles, yakni
menyebutnya dengan nama filsafat awal (al-falsafah al-ula). Metafisika baginya
adalah ilmu yang membahas sesuatu yang tidak bergerak, atau ilmu yang membahas
sesuatu yang bersifat ilahi (divine things). Menurutnya ia adalah ilmu filsafat
yang paling mulia, karena ia mempelajari ilmu tentang kebenaran awal yang
menjadi sebab dari segala kebenaran. Al-Kindi juga menyebutnya sebagai ‘ilmu sebab
pertama’ (al-’illat al-ula), alasannya karena semua cabang ilmu filsafat
tercakup dalam disiplin ilmu ini. Karena dia adalah awal dari kemuliaan, awal
dari segala jenis, awal dari segala tingkatan dan awal dari zaman karena dia
adalah sebab adanya zaman.
Permasalah yang diangkat dalam pemikiran metafisika al-Kindi tidak sama persis
dengan apa yang dikaji oleh metafisikanya Aristoteles dan para filosuf muslim
lainnya. Isu yang dibicarakan oleh al-Kindi terbatas pada pengklasifikasian
wujud (being), alam semesta, dan Tuhan. Metafisika al-Kindi, tidak hanya
menyajikan sesuatu hal yang baru, tapi ia senantiasa menempatkan dirinya
sebagai lawan dari metafisikanya filosuf Yunani dengan memasukan nilai-nilai
Islam ke dalamnya.
1. Wujud (being)
Al-Kindi membedakan sesuatu yang ada (wujud/being) menjadi dua, sesuatu yang
bersifat indrawi (al-mahsus) dan yang bersifat akali (al-ma’qul). Ilmu yang
mempelajari sesuatu yang bersifat indrawi (al-mahsus) disebut dengan ilmu
fisika (thabi’i), sedangkan ilmu yang mempelajari sesuatu yang bersifat akali
(al-ma’qul) disebut dengan ilmu metafisika (al-falsafah al-‘ula). Dan tiap-tiap
benda memiliki dua hakikat. Hakikat sebagai juz’i yang disebut aniah, dan
hakikat sebagai kulli yang disebut mahiah (hakikat yang bersifat universal
dalam bentuk genus dan species). Juz’i yang dinisbatkan kepada individu yang
tampak itu menjadi bahan kajiannya ilmu fisika (thabi’i), sedangkan metafisika
mengkaji segala sesuati yang bersifat kulli, mengkaji atas mahiah sesuatu.
Menurutnya, yang terpenting bukanlah juz’iah yang tak terhingga banyaknya itu,
tetapi hakikat yang terdapat dalam juz’iah itu, yaitu kulliah (universal).
2. Alam Semesta
Salah satu problem terpenting di kalangan filosuf muslim adalah pembicaraan
mengenai penciptaan alam semesta. Dikatakan sangat penting, karena problem ini
sangat erat kaitannya dengan konsep tauhid (the unity of God). Telah dibahas
sebelumnya, bahwa al-Kindi termasuk seorang filosuf muslim yang tengah berusaha
memadukan antara filsafat Yunani dengan Islam. Karena itu, dalam permasalah
yang krusial ini, ia lebih memilih berpendapat bahwa alam ini diciptakan sesuai
dengan apa yang diinformasikan oleh al-Quran, oleh sebab alam ini diciptakan
maka alam ini tidaklah kadim. Menurut al-Kindi, alam ini disebabkan oleh sebab
yang jauh (‘illat ba’idat ilahy), yakni Allah. Ia menciptakan alam dari tiada
menjadi ada (creation ex nihilo).
Pendapat al-Kindi di atas berbeda sama sekali dengan para pendahulunya, Plato
(490 SM), Aristoteles (384-322 SM) dan Plotinus (205-270 SM) yang tidak pernah
berpendapat bahwa alam ini diciptakan dari tiada menjadi ada. Menurut mereka,
alam ini diciptakan dari benda yang sudah ada sebelumnya dengan cara emanasi.
Sebelum Aristoteles, Pricles atau Proclus (411-405 SM) berpendapat bahwa alam ini
bersifat kekal dan juga gerak alam ini kekal. Ia mengemukakan delapan alasan
untuk membuktikan bahwa alam ini kekal. Pendapat mereka ini dibantah oleh
al-Kindi dengan metodologi yang belum pernah ada sebelumnya. Menurut George N.
Atiyeh, al-Kindi menggunakan ilmu matematika (mathematical) dan logika (logical
reasoning). Usaha al-Kindi nampaknya tidak didukung oleh beberapa filosuf
muslim, seperti Ibnu Sina dan al-Farabi. Untuk problem penciptaan alam semesta,
mereka lebih memilih pendapatnya para filosuf Yunani dengan sedikit perubahan
dalam konsep emanasi daripada al-Kindi.
Tentang baharunya alam, al-Kindi mengemukakan tiga argument, yakni gerak
(motion), zaman (time) dan benda (body). Benda untuk menjadi ada harus ada
gerak. Masa gerak menunjukkan adanya zaman. Adanya gerak tentu mengharuskan
adanya benda. Mustahil kiranya ada gerak tanpa adanya benda. Ketiganya sejalan
dan akan berakhir.
Lebih lanjut al-Kindi mengemukakan beberapa argument untuk menetapkan baharunya
alam.
a. Semua benda yang homogen, yang tidak padanya lebih besar ketimbang yang
lain, adalah sama besar.
b. Jarak antara ujung-ujung dari benda-benda yang sama besar, juga sama
besarnya dalam aktualitas dan potensialitas.
c. Benda-benda yang mempunyai batas tidak bisa tidak mempunyai batas.
d. Jika salah satu dari dua benda yang sama besarnya dan homogen ditambah
dengan homogen lainnya, maka keduanya menjadi tidak sama besar.
e. Jika sebuah benda dikurangi, maka besar sisanya lebih kecil daripada benda
semuala.
f. Jika satu bagian diambil dari sebuah benda, lalu dipulihkan kembali
kepadanya, maka hasilnya adalah benda yang sama seperti semula.
g. Tiada dari dua benda homogen yang besarnya tidak mempunyai batas bisa lebih
kecil ketimbang yang lain.
h. Jika benda-benda homogen yang semuanya mempunyai batas ditambahkan bersama,
maka jumlahnya akan terbatas.
Atas dasar itulah, al-Kindi berkesimpulan bahwa alam ini pastilah terbatas, dan
ia menolak secara tegas pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam
semesta tidak terbatas atau kadim. Pasalnya seandainya alam ini tidak terbatas,
lalu diambil sebagian, maka yang tinggal, apakah terbatas, ataukah tidak
terbatas? Jika yang tinggal terbatas, bila ditambahkan kembali kepada bagian
yang dipisahkan, maka hasilnya tentu terbatas pula dan inilah yang benar,
tetapi bertentangan dengan pengandaian semula bahwa alam ini sebelum dibagi
atau diambil sebagiannya, tidak terbatas.
Sekiranya yang tinggal setelah
diambil itu tidak terbatas, sedangkan keseluruhannya sebelum diambil juga tidak
terbatas, maka berarti benda itu sama besar dengan bagiannya, dan ini
kontradiktif dan tidak dapat diterima.
3. Tuhan
Setelah membuktikan bahwa alam semesta ini diciptakan pada suatu masa
(muhdats), kemudian al-Kindi hendak mendemonstrasikan bahwa alam ini mempunyai
Dzat yang menciptakan (muhdits). Untuk membuktikan adanya Allah Sang Pencipta,
al-Kindi mengajukan beberapa argument. Pertama, bukti adanya Allah adalah
diciptakannya alam semesta pada suatu masa. Apapun yang diciptakan pada suatu
masa, maka ia mempunyai pencipta. Setiap yang memiliki permulaan waktu maka ia
akan berkesudahan.
Argumen kedua adalah keaneragaman alam. Sebelum berargumen, al-Kindi
menjelaskan makna dari istilah ‘satu’ (one/wahid). Kata ‘satu’ adalah istilah
yang merujuk pada ‘satu’ (single) dari kumpulan beberapa objek dan merujuk pada
‘Esa’ (One), Sang Pencipta. Untuk makna pertama, ia tersusun dari beberapa
objek, dan dapat dibagi (divisible) kedalam beberapa bagian. Sedangkan untuk
makna kedua (One-ness, the Creator), Ia adalah satu yang tidak dapat
dibagi-bagi (indivisible). Selain ‘Yang Esa’ (One-ness) berarti berragam
(multiple). Ketiadaan Yang Esa juga berdampak pada ketiadaan yang berragam.
Yang Esa (One-ness) adalah penyebab adanya yang lain. Dia lah Allah Sang
Pencipta.
Argument ketiga adalah bahwa segala sesuatu mustahil dapat menjadi penyebab
atas dirinya sendiri. Karena jika ia sendiri yang menyebabkan atas dirinya maka
akan terjadi tasalsul (rangkaian) yang tidak akan habis-habisnya. Sementara
itu, sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Karena itulah,
penyebabnya harus dari luar sesuatu itu, yakni Dzat Yang Maha Baik dan Maha
Mulia dan lebih dahulu adanya dari pada sesuatu itu. Ia adalah Allah swt, Dzat
yang Maha Pencipta.
Tuhan dalam filsafat al-Kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti ‘aniah atau
mahiah. Bukan ‘aniah karena Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada
dalam alam, bahkan ia adalah Pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi
(al-hayula) dan bentuk (al-shurat). Tuhan juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk
mahiah, karena Tuhan tidak termasuk genus atau species. Tuhan hanya satu, dan
tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan adalah unik. Ia adalah Yang Benar
Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wahid). Ia
semata-mata satu. Selain dari-Nya mengandung arti banyak.
Sebagaimana kebanyakan umat Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah pencipta
(mubdi’). Tuhanlah yang menciptakan alam beserta isinya. Berbeda dengan
Aristoteles, menurutnya Tuhan tak memiliki ciri-ciri seperi Tuhan Penyelenggara
atau Pencipta, sebab akan turunlah derajat kesempurnaan-Nya jika Ia memikirkan
segala sesuatu selain yang sempurna. Tuhan, menurutnya adalah penyebab gerak,
akan tetapi dirinya sendiri tidak harus bergerak. Tuhan melahirkan sesuatu yang
bergerak (alam semesta) dengan jalan dicintai. Jadi bagi al-Kindi, Tuhan
bukanlah Pencipta alam semesta ini dalam pengertian dari tiada menjadi ada.
Tuhan dalam istilah Aristoteles adalah The Prime Mover bukan The Creator.
E. Penutup
Dari pemaparan singkat di atas, terlihat bahwa al-Kindi, filosuf muslim
paripatetik pertama, selalu berupaya untuk menselaraskan filsafat Yunani dengan
ajaran Islam dengan cara mengadopsi mana yang sesuai dan membuang atau merubah
mana yang tidak sesuai dengan akidah Islam. Usaha al-Kindi itu adalah proses
islamisasi filsafat Yunani. Jadi tidaklah benar jika dikatakan bahwa seluruh
kerangka kajian filsafat Islam seluruhnya berasal dari Yunani, sebagaimana yang
dituduhkan oleh orientalis.
Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat
Yunani, namun dia juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu
kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.
”Al-Kindi adalah salah satu dari 12 pemikir
terbesar di abad pertengahan,” cetus sarjana Italia era Renaissance, Geralomo
Cardano (1501-1575). Di mata sejarawan Ibnu Al-Nadim, Al-Kindi merupakan
manusia terbaik pada zamannya. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Dunia pun
mendapuknya sebagai filosof Arab yang paling tangguh.
Ilmuwan kelahiran Kufah, 185 H/801 M itu bernama lengkap Abu Yusuf Ya’qub bin
Ishak bin Sabah bin Imran bin Ismail bin Muhammad bin Al-Asy’ats bin Qais
Al-Kindi. Ia berasal dari sebuah keluarga pejabat. Keluarganya berasal dari
suku Kindah — salah satu suku Arab yang besar di Yaman — sebelum Islam datang.
Nenek moyangnya kemudian hijrah ke Kufah.
Ayahnya bernama Ibnu As-Sabah. Sang ayah
pernah menduduki jabatan Gubernur Kufah pada era kepemimpinan Al-Mahdi
(775-785) dan Harun Arrasyid (786-809). Kakeknya Asy’ats bin Qais kakeknya AL-Kindi
dikenal sebagah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Bila ditelusuri
nasabnya, Al-Kindi merupakan keturunan Ya’rib bin Qathan, raja di wilayah
Qindah.
Pendidikan dasar ditempuh Al-Kindi di tanah
kelahirannya. Kemudian, dia melanjutkan dan menamatkan pendidikan di Baghdad.
Sejak belia, dia sudah dikenal berotak encer. Tiga bahasa penting dikuasainya,
yakni Yunani, Suryani, dan Arab. Sebuah kelebihan yang jarang dimiliki orang
pada era itu.
Al-Kindi hidup di era kejayaan Islam Baghdad
di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Tak kurang dari lima periode khalifah
dilaluinya yakni, Al-Amin (809-813), Al-Ma’mun (813-833), Al-Mu’tasim, Al-Wasiq
(842-847) dan Mutawakil (847-861). Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai
berbagai ilmu, termasuk kedokteran, membuatnya diangkat menjadi guru dan tabib
kerajaan.
Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah
di Baitulhikmah (House of
Wisdom) yang kala itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu
pengetahuan dari berbagai bahasa, seperti Yunani. Ketika Khalifah Al-Ma’mun
tutup usia dan digantikan puteranya, Al-Mu’tasim, posisi Al-Kindi semakin
diperhitungkan dan mendapatkan peran yang besar. Dia secara khusus diangkat
menjadi guru bagi puteranya.
Al-Kindi mampu menghidupkan paham Muktazilah.
Berkat peran Al-Kindi pula, paham yang mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan
sebagai paham resmi kerajaan. Menurut Al-Nadhim, selama berkutat dan bergelut
dengan ilmu pengetahuan di Baitulhikmah, Al-Kindi telah melahirkan 260 karya.
Di antara sederet buah pikirnya dituangkan dalam risalah-risalah pendek yang
tak lagi ditemukan. Karya-karya yang dihasilkannya menunjukan bahwa Al-Kindi
adalah seorang yang berilmu pengetahuan yang luas dan dalam.
Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai
bidang, seperti filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri,
medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik dan meteorologi. Bukunya yang
paling banyak adalah geometri sebanyak 32 judul. Filsafat dan kedokteran
masing-masing mencapai 22 judul. Logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12
judul.
Buah pikir yang dihasilkannya begitu
berpengaruh terhadap perkembangan peradaban Barat pada abad pertengahan.
Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Eropa. Buku-buku
itu tetap digunakan selama beberapa abad setelah ia meninggal dunia.
Al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim
pertama, karena dialah orang Islam pertama yang mendalami ilmu-ilmu filsafat.
Hingga abad ke-7 M, filsafat masih didominasi orang Kristen Suriah. Al-Kindi
tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia juga
menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya yang
besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.
Setelah era Khalifah AL-Mu’tasim berakhir dan
tampuk kepemimpin beralih ke Al-watiq dan Al-Mutawakkil, peran Al-Kindi semakin
dipersempit. Namun, tulisan kaligrafinya yang menawan sempat membuat Khalifah
kepincut. Khalifah AL-Mutawakkil kemudian mendapuknya sebagai ahli kaligrafi
istana. Namun, itu tak berlangsung lama.
Ketika Khalifah Al-Mutawakkil tak lagi
menggunakan paham Muktazilah sebagai aliran pemikiran resmi kerajaan, Al-Kindi
tersingkir. Ia dipecat dari berbagai jabatan yang sempat diembannya. Jabatannya
sebagai guru istana pun diambil alih ilmuwan lain yang tak sepopuler Al-Kindi.
Friksi pun sempat terjadi, perpustakaan pribadinya sempat diambil alih
putera-putera Musa. Namun akhirnya Al-Kindiyah – perpustakaan pribadi itu –
dikembalikan lagi.
Sebagai penggagas filsafat murni dalam dunia
Islam, Al-Kindi memandang filasafat sebagai ilmu pengetahuan yang mulia. Sebab,
melalui filsafat-lah, manusia bisa belajar mengenai sebab dan realitas Ilahi
yang pertama da merupakan sebab dari semua realitas lainnya.
Baginya, filsafat adalah ilmu dari segala
ilmu dan kearifan dari segala kearifan. Filsafat, dalam pandangan Al-Kindi
bertujuan untuk memperkuat agama dan merupakan bagian dari kebudayaan Islam.
Salah seorang penulis buku tentang studi
Islam, Henry Corbin, menggambarkan akhir hayat dari sang filosof Islam. Menurut
Corbin, pada tahun 873, Al-Kindi tutup usia dalam kesendirian dan kesepian.
Saat itu, Baghdad tengah dikuasai rezim Al-Mu’tamid. Begitu dia meninggal,
buku- buku filsafat yang dihasilkannya banyak yang hilang.
Sejarawan Felix Klein-Franke menduga
lenyapnya sejumlah karya filsafat Al-Kindi akibat dimusnahkan rezim
Al-Mutawakkil yang tak senang dengan paham Muktazilah. Selain itu, papar
Klein-Franke, bisa juga lenyapnya karya-karya AL-Kindi akibat ulah serangan
bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan yang membumihanguskan kota Baghdad
dan Baitulhikmah.
Hingga kini, Al-Kindi tetap dikenang sebagai
ilmuwan Islam yang banyak berjasa bagi ilmu pengetahuan dan peradaban manusia.
Kitab Pemecah Kode
Sebagai ilmuwan serba bisa, Al-Kindi tak cuma
melahirkan pemikiran di bidang filsafat saja. Salah satu karyanya yang termasuk
fenomenal adalah Risalah Fi
Istikhraj al-Mu’amma. Kitab itu mengurai dan membahas kriptologi
atau seni memecahkan kode. Dalam kitabnya itu, Al-Kindi memaparkan bagaimana
kode-kode rahasia diurai.
Teknik-teknik penguraian kode atau
sandi-sandi yang sulit dipecahkan dikupas tuntas dalam kitab itu. Selain itu,
ia juga mengklasifikasikan sandi-sandi rahasia serta menjelaskan ilmu fonetik
Arab dan sintaksisnya. Yang paling penting lagi, dalam buku tersebut, A-Kindi
mengenalkan penggunaan beberapa teknik statistika untuk memecahkan kode-kode
rahasia.
Kriptografi dikuasainya, lantaran dia pakar
di bidang matematika. Di area ilmu ini, ia menulis empat buku mengenai sistem
penomoran dan menjadi dasar bagi aritmatika modern. Al-Kindi juga berkontribusi
besar dalam bidang geometri bola, bidang yang sangat mendukungnya dalam studi
astronomi
Bekerja di bidang sandi-sandi rahasia dan
pesan-pesan tersembunyi dalam naskah-naskah asli Yunani dan Romawi mempertajam
nalurinya dalam bidang kriptoanalisa. Ia menjabarkannya dalam sebuah makalah,
yang setelah dibawa ke Barat beberapa abad sesudahnya diterjemahkan sebagai Manuscript on Deciphering
Cryptographic Messages. ”Salah satu cara untuk memecahkan kode
rahasia, jika kita tahu bahasannya adalah dengan menemukan satu naskah asli
yang berbeda dari bahasa yang sama, lalu kita hitung kejadian-kejadian pada
tiap naskah Pilah menjadi naskah kejadian satu, kejadian dua, dan seterusnya,”
kata Al-Kindi.
Setelah itu, lanjut Al-Kindi, baru kemudian
dilihat kepada teks rahasia yang ingin dipecahkan. Setelah itu dilanjutkan
dengan melakukan klasifikasi simbol-simbolnya. ”Di situ kita akan menemukan
simbol yang paling sering muncul, lalu ubahlah dengan catatan kejadian satu,
dua, dan seterusnya itu, sampai seluruh simbol itu terbaca.”
Teknik itu, kemudian dikenal sebagai analisa
frekuensi dalam kriptografi, yaitu cara paling sederhana untuk menghitung
persentase bahasa khusus dalam naskah asli, persentase huruf dalam kode
rahasia, dan menggantikan simbol dengan huruf.
Filsafat Al-Kindi
Bagi Al-Kindi, filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang mulia. Filsafatnya tentang keesaan Tuhan selain didasarkan
pada wahyu juga proposisi filosofis. Menurut dia, Tuhan tak mempunyai hakikat,
baik hakikat secara juz’iyah
atau aniyah
(sebagian) maupun hakikat kulliyyah
atau mahiyah
(keseluruhan).
Dalam pandangan filsafat Al-Kindi, Tuhan
tidak merupakan genus
atau species.
Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan
Yang Benar Tunggal. AL-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat
Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan
keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap
indera.
Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki
sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi
sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dengan
Zat-Nya. Jiwa atau roh adalah salah satu pembahasan Al-Kindi. Ia juga merupakan
filosof Muslim pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci.
Al-Kindi membagi roh atau jiwa ke dalam tiga
daya, yakni daya nafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Menurutnya, daya yang
paling penting adalah daya berpikir, karena bisa mengangkat eksistensi manusia
ke derajat yang lebih tinggi.
Al-Kindi juga membagi akal mejadi tiga, yakni
akal yang bersifat potensial, akal yang telah keluar dari sifat potensial
menjadi aktual, dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.
Akal yang bersifat potensial, papar Al-Kindi,
tak bisa mempunyai sifat aktual, jika tak ada kekuatan yang menggerakkannya
dari luar. Oleh karena itu, menurut Al-Kindi, masih ada satu macam akal lagi,
yakni akal yang selamanya dalam aktualitas.
(Heri Ruslan, Rabu, 06
Februari 2008)
Sumber: ahmadsamantho.wordpress.com/2008/03/25/al-kindi
Copyright © 2011 Mustikoning
Jagad. All Rights Reserved.
Joomla! is Free Software released under the GNU/GPL License.