A.
Pendahuluan
Salah satu ilmu yang dapat membantu
terwujudnya manusia yang berkualitas adalah ilmu Tasawuf. Ilmu tersebut
satu mata rantai dengan ilmu-ilmu lainnya dengan pada sisi luar yang dhahir
yang tak ubahnya jasad dan ruh yang tak dapat terpisah keduanya.
Ilmu tersebut dinamakan juga ilmu bathin sebagaimana pendapat Syekh
al-Manawi dalam kitab Faed al-Qadir dalam menjelaskan hadis Nabi :
العلم علمان فعلم في القلب فذالك علم النافع وعلم علي اللسان
قذالك حجة الله علي ابن ادم (ش) والحكيم عن الحسن مرسلا (خط) عن جابر (ح) وكيل علم
الباطن يخرج من القلب وعلم الظاهر يخرج من اللسان
‘Ilmu
itu dua macam, ilmu yang ada dalam qalbu, itulah ilmu yang bermanfaat
dan ilmu yang diucapkan oleh lidah adalah ilmu hujjah/hukum, atas anak
cucu Adam. Dari Abi Syaebah dan Hakim dari Hasan dan dikatakan Syekh al-Manawi
bahwa ilmu bathin itu keluar dari qalbu dan ilmu dhahir itu
keluar dari lidah.[1]
Bahwa ilmu bathin yang keluar
dari qalbu itu adalah tasawuf, yang dikerjakan dan diamalkan oleh
qalbu atau hati, dan ilmu dhahir yang keluar dari lidah adalah
ilmu yang diucapkan oleh lidah dan diamalkan oleh jasad yang disebut
juga ilmu syari’ah.
Ilmu tersebut tidak dapat terpisah
keduanya karena ilmu dhahir diucapkan dan digerakkan oleh tubuh/jasad
dan ilmu bathin diamalkan oleh qalbu dan serentak pengamalannya
bersamaan keduanya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak dapat
dipisahkan keduanya bahkan makin dalam ilmu Tasawuf seseorang itu
semakin mendalam pula pengamalan syari’at-nya dan kewarasannya. Seorang Sufi
sangat menjaga syari’at-nya dan bathin-nya, bahkan keluar masuk
nafasnya dan khatar (kata hatinya) itu, juga dipeliharanya.
Orang-orang yang memelihara nafasnya
yakni keluar masuk atau turun naiknya nafas itu berbarengan dengan disertai dzikir
rahasia melalui qalbu-nya, misalnya dzikir Allah ( الله )
misalnya pada saat itu nafasnya keluar/turun, dan dengan dzikir hua
( هو
) pada saat nafasnya masuk/naik, amalan seperti ini adalah amalan-amalan Sufi.
Selama manusia itu bernafas, maka dzikir
bathin tersebut dapat diamalkan baik di waktu duduk, berdiri, maupun
berbaring, bahkan dalam kondisi bagaimanapun dzikir bathin itu
dapat diamalkan.[2]
Manusia yang amalannya demikian
tidak terpisah dengan Allah, sehingga sulit untuk melupakan Allah, apalagi berpikir
berbuat dosa dan melanggar perintah Allah, karena tidak akan dapat berkumpul
bersama-sama pada waktu bersamaan pada seseorang dalam qalbu-nya,
nafasnya ber-dzikir kepada Allah, sementara jasadnya berbuat dosa.
Tetapi yang pasti adalah ber-dzikir qalbu-nya dan diamalkan oleh
jasadnya dan masuk sampai dalam sumsum tulang, atau dimensi dalam dan amalan
cara itu pula yang disebut Tasawuf.
Tasawuf sebagai sumsum tulang atau
dimensi dalam, dari wahyu ke-Islaman, adalah upaya dalam yang luhur, dimana tauhid
tercapai. Semua orang Islam yakin akan kesatuan sebagaimana terungkap di dalam syahadat.[3]
Dari penjelasan di atas, dapat
dipahami bahwa Tasawuf adalah salah satu dari ilmu-ilmu ke-Islaman yang
begitu menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, pada makalah ini akan diuraikan :
- Sejauh
mana pengertian tasawuf itu ?
- Asal-usul
kata tasawuf ?
- Esensi
tasawuf ?
- Bagaimana
awal mula munculnya dan berkembangnya tasawuf ?
- Apakah
tujuan yang hendak dicapai oleh tasawuf ?
BAB I
I.
PEMBAHASAN
A. Pengetian
Tasawuf
Arti tasawuf dan asal katanya
menurut logat sebagaimana tersebut dalam buku Mempertajam Mata Hati (dalam
melihat Allah). Menurut Syekh Ahmad ibn Athaillah yang diterjemahkan oleh Abu
Jihaduddin Rafqi al-Hānif :
- Berasal
dari kata suffah (صفة)= segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya
di serambi masjid Nabawi, karena di serambi itu para sahabat selalu duduk
bersama-sama Rasulullah untuk mendengarkan fatwa-fatwa beliau untuk
disampaikan kepada orang lain yang belum menerima fatwa itu.
- Berasal
dari kata sūfatun (صوفة)= bulu binatang, sebab orang yang
memasuki tasawuf itu memakai baju dari bulu binatang dan tidak
senang memakai pakaian yang indah-indah sebagaimana yang dipakai oleh
kebanyakan orang.
- Berasal
dari kata sūuf al sufa’ (صوفة الصفا)= bulu yang terlembut, dengan
dimaksud bahwa orang sufi itu bersifat lembut-lembut.
- Berasal
dari kata safa’ (صفا)= suci bersih, lawan kotor. Karena orang-orang yang mengamalkan
tasawuf itu, selalu suci bersih lahir dan bathin dan selalu
meninggalkan perbuatan-perbuatan yang kotor yang dapat menyebabkan
kemurkaan Allah.[14]
Pendapat tersebut di atas menjadi khilaf
(perbedaan pendapat) para ulama, bahkan ada pendapat tidak menerima arti tasawuf
dari makna logat atau asal kata. Menurut al-Syekh Abd. Wahid Yahya berkata:
Banyak perbedaan pendapat mengenai kata”sufi” dan telah ditetapkan ketentuan
yang bermacam-macam, tanpa ada satu pendapat yang lebih utama dari pendapat
lainnya kerena semua itu bisa diterima.
Pada hakekatnya, itu merupakan
penamaan simbolis. Jika diinginkan keterangan selanjutnya, maka haruslah
kembali pada jumlah bilangan pada huruf-hurufnya adalah sesuatu yang
menakjubkan jika diperhatikan bahwa jumlah dari huruf sufi sama dengan
jumlah“al-Hakim al-Ilahi”, maka seorang sufi yang hakiki
ialah orang yang sudah mencapai hikmah Ilahi yaitu orang arif
dengan Allah, karena pada hakekatnya bahwa Allah tidak dapat dikenal melainkan
dengan-Nya (dengan pertolongan-Nya)[15]
Dengan pendapat para ahli tasawuf
tentang arti tasawuf menurut bahasa tersebut di atas, dapatlah diambil
kesimpulan bahwa nama-nama dan istilah menurut bahasa adalah arti simbolik yang
bermakna kebersihan dan kesucian untuk senantisa berhubungan dengan Allah.
Untuk mencapai tingkat ma’rifat untuk menjadi manusia yang berkualitas
lagi kamil.
Dari sekian banyak defenisi yang
ditampilkan oleh para ahli tentang tasawuf, sangat sulit
mendefenisikannya secara lengkap karena masing-masing ahli mendefenisikan tasawuf
hanya dapat menyentuh salah satu sudutnya saja, sebagaimana dikemukakan oleh
Anne Marie Schimmel, seorang sejarahwan dan dosen tasawuf pada Harvard
University[16]
sebagai contoh apa yang telah didefenisikan oleh Syekh al-Imam al-Qusyairi
dalam kitabnya Risālah al-Qusyairiyyah
المراعون انفاسهم مع الله تعالي الحافظون قلوبهم عن طوارق
الغفلة باسم التصوف
‘Orang-orang
yang senantiasa mengawasi nafasnya bersamaan dengan Allah Ta’ala. Orang-orang
yang senantiasa memelihara hati atau qalbunya dari berbuat lalai dan lupa
kepada Allah dengan cara tersebut di atas dinamakan tasawuf.
Menurut
Abu Muhammad al-Jariri yang disebutkan dalam kitab al-Risalah al-kusyairi
beliau ditanya tentang tasawuf, maka ia menjawa :
الدخول في كل خلق سني والخروج من كل خلق دني
‘Masuk
dalam setiap moral yang luhur dan keluar dari setiap moral yang rendah.
Menurut
Abd al-Husain al-Nur memberikan batasan dalam defenisi yang lain yaitu akhlak
yang membentuk tasawuf :
التصوف الحرية والكرم وترك التكلف والسخاء
‘Tasawuf
adalah kemerdekaan, kemurahan tidak membebani diri serta dermawan.[17]
Dengan beberapa pengertian tasawuf
tersebut di atas menunjukkan bahwa hubungan Allah dengan manusia yang tak
terpisah, sampai merasuk dalam qalbu sehingga manusia yang ber-tasawuf
itu selalu berada dalam daerah Ilahi yang qadim, karena manusia
dalam pengertian qalbu dan ruh, dapat dihubungkan dengan Allah seperti
firman Allah dalam hadis Qudsi :
قوله تعالي في الحديث القدسي ما وسعني ارضي ولا سماءي ووسعني
قلب عبد المؤمن
‘Allah
berfirman dalam hadis Qudsi, sekiranya Aku, diletakkan di bumi dan langit-Ku
tidak mampu memuat Aku dan qalbu-nya orang mukmin dapat memuat Aku.[18]
Bahwa hadis Qudsi tersebut
menggambarkan tentang bumi dan langit tidak dapat secara langsung dekat Allah
swt. Bahkan andaikata Allah swt. Akan ditempatkan dan diletakkan dalam bumi dan
langit itu tidak akan sanggup membawa dan memuatnya, akan tetapi sekiranya
Allah swt. Akan ditempatkan dan diletakkan dalam qalbu-nya orang mukmin,
niscaya akan sanngup dan mampu memuatnya karena manusia itu lebih tinggi
martabatnya, dibandingkan dengan makhluk lainnya, setelah itu pula manusia
mempunyai nur (cahaya dari Allah) dengan demikian mudah berhubungan, nur
dengan nur.
B.
Asal Usul Tasawuf
Dari beberapa keterangan, diketahui
bahwa sesungguhnya pengenalan tasawuf sudah ada dalam kehidupan Nabi
saw., sahabat, dan tabi’in. Sebutan yang populer bagi tokoh agama sebelumnya
adalah zāhid, ābid, dan nāsik, namun term tasawuf
baru dikenal secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad kedua Hijriah.
Sebagai perkembangan lanjut dari ke-shaleh-an asketis
(kesederhanaan) atau para zāhid yang mengelompok di serambi masjid
Madinah. Dalam perjalanan kehidupan, kelompok ini lebih mengkhususkan diri
untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan
kenikmatan duniawi. Pola hidup ke-shaleh-an yang demikian merupakan awal
pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesatnya. Fase ini
dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama
perkembangan tasawuf,[4]
yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan
akhirat sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan
keasyikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya sampai pada dua Hijriah
dan memasuki abad tiga Hijriah sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme
Islam ke sufisme. Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang
ditandai oleh antara lain peralihan sebutan zāhid menjadi sufi.
Di sisi lain, pada kurun waktu ini, percakapan para zāhid sudah sampai
pada persoalan apa itu jiwa yang bersih, apa itu moral dan bagaimana metode
pembinaannya dan perbincangan tentang masalah teoritis lainnya.
Tindak lanjut dari perbincangan ini,
maka bermunculanlah berbagai teori tentang jenjang-jenjang yang harus ditempun
oleh seorang Sufi (al-maqāmat) serta ciri-ciri yang dimiliki oleh
seorang sufi pada tingkat tertentu (al-hāl). Demikian juga pada
periode ini sudah mulai berkembang pembahasan tentang al-ma’rifat serta
perangkat metodenya sampai pada tingkat fana’ dan ijtihad.
Bersamaan dengan itu, tampil pula para penulis tasawuf, seperti
al-Muhāsibi (w. 243 H), al-Kharraj (w. 277 H.), dan al-Junaid (w. 297 H.),[5] dan
penulis lainya. Fase ini ditandai dengan munculnya dan berkembangnya ilmu baru
dalam khazanah budaya Islam, yakni ilmu tasawuf yang tadinya hanya
berupa pengetahuan praktis atau semacam langgam keberagamaan. Selama kurun
waktu itu tasawuf berkembang terus ke arah yang lebih spesifik, seperti
konsep intuisi, al-kasyf, dan dzawq.[6]
Kepesatan perkembangan tasawuf
sebagai salah satu kultur ke-Islaman, nampaknya memperoleh infus atau
motivasi dari tiga faktor. Infus ini kemudian memberikan gambaran
tentang tipe gerakan yang muncul.
Pertama:
adalah karena corak kehidupan yang profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan
oleh ummat Islam terutama para pembesar dan para hartawan. Dari aspek ini,
dorongan yang paling besar adalah sebagai reaksi dari sikap hidup yang sekuler
dan gelamour dari kelompok elit dinasti penguasa di istana. Profes tersamar ini
mereka lakukan dengan gaya murni etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan
motivasi etikal. Tokoh populer yang dapat mewakili aliran ini dapat ditunjuk
Hasan al-Bahsri (w. 110 H) yang mempunyai pengaruh kuat dalam kesejarahan
spiritual Islam, melalui doktrin al-zuhd dan khawf – al-raja’,
rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H) dengan ajaran al-hubb atau mahabbah
serta Ma’ruf al-Kharki (w. 200 H) dengan konsepsi al-syawq sebagai
ajarannya.[7]
Nampaknya setidaknya pada awal munculnya, gerakan ini semacam gerakan sektarian
yang interoversionis, pemisahan dari trend kehidupan, eksklusif
dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memperdulikan alam
sekitar.
Kedua:
timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaum khawarij
dan polarisasi politik yang ditimbulkannya. Kekerasan pergulakan politik pada
masa itu, orang-orang yang ingin mempertahankan ke-shaleh-an dan
ketenangan rohaniah, terpaksa mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat
ramai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung
dalam pertentangan politik. Sikap yang demikian itu melahirkan ajaran ‘uzlah
yang dipelopori oleh Surri al-Saqathi (w. 253 H).[8]
Apabila diukur dari kriteria sosiologi, nampaknya kelompok ini dapat
dikategorikan sebagai gerakan “sempalan”, satu kelompok ummat yang sengaja
mengambil sikap ‘uzlah kolektif yang cenderung ekslusif dan kritis
tehadap penguasa.
Dalam pandangan ini, kecenderungan
memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya merupakan pelarian, atau mencari
konpensasi untuk menang dalam medan perjuangan duniawi. Ketika di dunia yang
penuh tipu daya ini sudah kering dari siraman cinta sesama, mereka bangun dunia
baru, realitas baru yang terbebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia
spiritual yang penuh dengan salju cinta.
Faktor
ketiga, tampaknya adalah karena corak kodifikasi hukum Islam dan perumusan ilmu
kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang menyebabkan
kehingan moralitasnya, menjadi semacam wahana tiada isi atau semacam bentuk
tanpa jiwa. Formalitas faham keagamaan dirasakan semakin kering dan menyesakkan
rūh al-dīn yang menyebabkan terputusnya komunikasi langsung suasana
keakraban personal antara hamba dan penciptanya. Kondisi hukum dan teologis
yang kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi agama dalam agama, para zuhūdan
tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga memacu
penggeseran seketisme ke-shaleh-an kepada tasawuf.[9]
Apabila dilihat dari sisi tasawuf
sebagai ilmu, maka fase ini merupakan fase ketiga yang ditandai dengan
dimulainya unsur-unsur di luar Islam berakulturasi dengan tasawuf. Ciri
lain yang penting pada fase ini adalah timbulnya ketegangan antara kaum orthodoks
dengan kelompok sufi berfaham ittihad[10]
di pihak lain.
Akibat lanjut dari pembenturan
pemikiran itu, maka sekitar akhir abad ketiga Hijriah tampil al-Karraj (w. 277
H) bersama al-Junaid (w. 297 H) menawarkan konsep-konsep tasawuf yang
kompromistis antara sufisme dan orthodoksi. Tujuan gerakan ini
adalah untuk menjembatani atau bila dapat untuk mengintegrasikan antara
kesadaran mistik dengan syariat Islam. Jasa mereka yang paling bernilai adalah
lahirnya doktrin al-baqa’ atau subsistensi sebagai imbangan dan
legalitas al-fana’.hasil keseluruhan dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi
membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan kategori dengan tujuan memadukan
kesadaran mistik dengan syari’ah sebagai suatu lembaga. Upaya tajdid itu
mendapat sambutan luas dengan tampilnya penulis-penulis tasawuf tipologi
ini, seperti al-Sarraj dengan al-Luma,al-Kalabasi dengan al-Ta’arruf
li Mazhāhib Ahl al-Tasawuf dan al-Qusyairi dengan al-Risālah.[11]
Sesudah masanya ketiga sufi
ini, muncul jenis tasawuf yang berbeda, yaitu tasawuf yang
merupakan perpaduan antara sufisme dan filsafat sebagai hasil pikir Ibnu
Masarrah (w. 381 H) dengan konsepsinya ma’rifat sejati, sebagai gabungan
dari sufisme dan teori emanasi Neo- Platonisme. Gagasan
ini, sesudah masa al-Gazali dikembangkan oleh Suhrawardi al-Maqtūl (w. 578 H)
dengan doktrin al-Isyrākiyah atau illuminasi. Gerakan orthodoksi
sufisme mencapai puncaknya pada abad lima Hijriah memalui tokoh monumental
al-Gazali (w. 503 H). Dengan upayanya mengikis semua ajaran tasawuf yang
menurutnya tidak Islami. Sufisme hasil rekayasanya itu yang sudah
merupakan corak baru, mendapat tempat yang terhormat dalam kesejahteraan
pemikiran ummat Islam. Cara yang ditempuhnya untuk menyelesaikan pertikaian
itu, adalah dengan penegasan bahwa ucapan ekstatik berasal dari orang
arif yang sedang dalam kondisi sakr atau terkesima. Sebab dalam
kenyataanya, kata al-Gazali, setelah mereka sadar mereka mengakui pula, bahwa
kesatuan dengan Tuhan itu bukanlah kesatuan hakiki, tetapi kesatuan
simbolistik.[12]
Pendekatan yang dilakukan oleh
al-Gazali, nampaknya bagi satu pihak memberikan jaminan untuk mempetahankan
prinsip bahwa Allah dan alam ciptaan-Nya adalah dua hal yang berbeda, sehingga
satu sama lain tidak mungkin bersatu. Di pihak lain memberikan kelonggaran pula
bagi para sufi untuk memasuki pengalaman-pengalaman ke-sufi-an
puncak itu tanpa kekhawatiran dituduh kafir. Gambaran ini menunjukkan tasawuf
sebagai ilmu telah sampai ke fase kematangannya atau memasuki fase keempat,
yang ditandai dengan timbulnya dua aliran tasawuf, yaitu tasawuf sunni
dan tasawuf filsafati.[13]
C. Esensi
Tasawuf
Ajaran tasawuf mengandung esensi
etika yang berlandaskan padapembangunan moral manusia. Berbicara pembangunan
moralitas,sebagaimana diketahui bersama bahwa dewasa ini peradaban dunia
tengahmengalami krisis moralitas, dimana banyak fenomena menunjukkankekerasan
dan kekejian yang dilakukan oleh manusia. Sehingga terjadidistorsi moral yang
menyebabkan kehancuran dan kerugian manusia itusendiri.Pada konteks ini,
tasawuf mampu berfungsi sebagai terapi krisisspiritual yang berimbas pada
distorsi moral.
Sebab pertama , tasawufsecara psikologis,
merupakan hasil dari berbaga i pengalaman spiritual dan merupakan bentuk dari
pengetahuan langsung mengenai realitas-realitasketuhanan yang cenderung menjadi
inovator dalam agama. Kedua,kehadiran Tuhan dalam bentuk mistis dapat
menimbulkan keyakinan yangsangat kuat. Ketiga, dalam tasawuf, hubungan
dengan Allah di jalin atasdasar kecintaan. Dengan kata lain, moralitas yang
menjadi inti ajaran tasawufmendorong manusia untuk memelihara dirinya dari
menelantarkankebutuhan-kebutuhanspiritualitasnya.
Sebab,menelantarkan kebutuhan
spiritualitas sangat bertentangan dengan tindakan yang dikehendaki olehAllah
SWT.Permasalahan moralitas dalam tasawuf dapat dijadikan sebagaisalah satu
alternatif materi dalam proses dakwah, karena memiliki tigatujuan: pertama, turut
serta berbagi peran dalam penyelamatankemanusiaan dari kondisi kebingungan
sebagai akibat hilangnya nilai-nilaispiritual. Kedua , memperkenalkan literatur
atau pemahaman tentang aspekesoteris Islam terhadap manusia modern. Ketiga,
untuk memberikanpenegasan bahwa sesungguhnya aspek esoteris Islam, yaitu
tasawuf adalahjantung ajaran Islam. Dengan mengaplikasikan ajaran tasawuf, umat
manusia dapatmencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagiaan ini dapat
tercapaidengan maksimal tanpa harus meninggalkan atau mematikan yang satu untuk
mendapatkan yang lain. Tetapi dapat dicapai secara selaras danseimbang dengan
mengaplikasikan dan membumikan ajaran tasawufdalam kehidupan beragama,
bermasyarakat dan bernegara.
Tasawuf merupakan salah satu
aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran
adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi
tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan rasulullah saw, namun tasawuf
sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu –ilmu
keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa rasulullah belum
dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat
nabi.
Munculnya
istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh abu
Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam
sejarah islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran
zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah.
Imam Ghazali dalam an-Nusrah
an-Nabawiahnya mengatakan bahwa mendalami dunia tasawuf itu penting sekali.
Karena, selain Nabi, tidak ada satupun manusia yang bisa lepas dari penyakit
hati seperti riya, dengki, hasud dll. Dan, dalam pandangannya, tasawuf lah yang
bisa mengobati penyakit hati itu. Karena, tasawuf konsentrasi pada tiga hal
dimana ketiga-tiganya sangat dianjurkan oleh al-Qur\'an al-karim. Pertama,
selalu melakukan kontrol diri, muraqabah dan muhasabah. Kedua,
selalu berdzikir dan mengingat Allah Swt. Ketiga, menanamkan sifat
zuhud, cinta damai, jujur,sabar, syukur, tawakal, dermawan dan ikhlas.
Melihat
konsenstrasi bahasan tasawuf di atas, jelas sekali bahwa tasawuf bagian dari
Islam.
D.
Muncul dan Berkembangnya Tasawuf
Kenapa
gerakan tasawuf baru muncul paska era Shahabat dan Tabi\'in? Kenapa tidak
muncul pada masa Nabi? Jawabnya, saat itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf.
Perilaku umat masih sangat stabil. Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi
garapan Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari
budaya pragmatisme, materialisme dan hedonisme. Tasawuf sebagai nomenklatur
sebuah perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak
dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi\'in pada hakikatnya sudah
sufi: sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga
tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq
Ketika kekuasaan Islam makin meluas.
Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah orang-orang lalai
pada sisi ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah
timbul gerakan tasawuf (sekitar abad 2 Hijriah). Gerakan yang bertujuan untuk
mengingatkan tentang hakikat hidup. Konon, menurut pengarang Kasf adh-Dhunun,
orang yang pertama kali dijuluki as-shufi adalah Abu Hasyim as-Shufi (w. 150 H)
E.
Tujuan Tasawuf
Secara umum, tujuan terpenting dari sufi
ialah agar berada sedekat mungkin dengan Allah.[19]
Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum,
terlihat adanya tiga sasaran “antara” dari tasawuf, yaitu :
- Tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan
aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkesinambungan,
penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan
komitmen hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf yang bertujuan
moralitas ini, pada umumnya bersifat praktis.
- 2. Tasawuf yang bertujuan ma’rifatullah
melalui penyingkapan langsung atau metode al-Kasyf al-Hijab. Tasawuf
jenis ini sudah bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang
diformulasikan secara sistimatis analitis.
- Tasawuf yang bertujuan untuk membahas
bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis
filosofis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama
hubungnan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan.dalam hal
apa makna dekat dengan Tuhan itu, terdapat tiga simbolisme yaitu; dekat
dalam arti melihat dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam
arti berjumpa dengan Tuhan sehingga terjadi dialog antara manusia dengan
Tuhan dan makan dekat yang ketiga adalah penyatuan manusia dengan Tuhan
sehingga yang terjadi adalah menolong antara manusia yang telah menyatu
dalam iradat Tuhan.[20]
Dari uraian singkat tentang tujuan sufisme
ini, terlihat ada keragaman tujuan itu. Namun dapat dirumuskan bahwa, tujuan
akhir dari sufisme adalah etika murni atau psikologi murni, dan atau
keduanya secara bersamaan, yaitu: (1) penyerahan diri sepenuhya kepada kehendak
mutlak Allah, karena Dialah penggerak utama dari sermua kejadian di alam ini;
(2) penanggalan secara total semua keinginan pribadi dan melepaskan diri dari
sifat-sifat jelek yang berkenaan dengan kehidupan duniawi (teresterial)
yang diistilahkan sebagai fana’ al-ma’asi dan baqa’ al-ta’ah; dan
(3) peniadan kesadaran terhadap “diri sendiri” serta pemusatan diri pada
perenungan terhadap Tuhan semata, tiada yang dicari kecuali Dia. Ilāhi anta
maksūdīy wa ridhāka mathlūbīy.
II.
PENUTUP/KESIMPULAN
- Kata tasawuf
mulai dipercakapkan sebagai satu istilah sekitar akhir abab dua Hijriah
yang dikatkan dengan salah satu jenis pakaian kasar yang disebut shuff
atau wool kasar. Namun dasar-dasar tasawuf sudak ada sejak
datangnya agama Islam. Hal ini dapat diketahui dari kehidupan Nabi
Muhammad saw. cara hidup beliau yang kemudian diteladani dan diteruskan
oleh para sahabat. Selama periode Makkiyah, kesadaran spiritual Rasullah
saw.. adalah berdasarkan atas pengalaman-pengalaman mistik yang
jelas dan pasti, sebagaimana dilukiskan dalam Aquran surah al-Najm: 12-13;
surah al-Takwir:
- Kalau
dalam pencarian akar kata tasawuf sebagai upaya awal untuk
mendefenisikan tasawuf, ternyata sulit untuk menarik satu
kesimpulan yang tepat. Kesulitan serupa ternyata dijumpai pula pada
pendefenisian tasawuf . kesulitan itu nampaknya berpangkal pada
esesnsi tasawuf sebagai pengalaman rohaniah yang hampir tidak
mungkin dijelaskan secara tepat melalui bahasa lisan.
- Sementara
tujuan akhir tasawuf itu sendiri adalah etika murni atau psikologi
murni yang mencakup :
- Penyerahan
diri sepenuhnya kepada kehendak mutlak Allah.
- Penanggalan
secara total keinginan-keinginan pribadi dan melepaskan diri dari
sifat-sifat jelek.
- Pemusatan
pada perenungan terhadap Tuhan, tiada yang dicari kecuali Dia.
DAFTAR
PUSTAKA
Fazlur
Rahman. Islam. Diterjemahkan oleh Ahsin dengan judul Islam
Bandung: Pustaka, 1984.
Al-Iskandariah,
Ibnu Athaillah Syekh ahamd ibn. Pengubah Abu Jihaduddin Rifqi al-Hanif dengan
judul Mempertajam Mata Hati. t.t: Bintang Pelajar, 1990.
_______,
Ibnu Athaillah. al-Hikam. Diterjemahkan oleh Salim Bahreisy dengan judul
Tarjamah al-Hikmah. Cet. V; Surabaya: Balai Buku, 1984).
al-Jaeliy,
Al-Syekh Abd al-Karim ibn Ibrahim. Insan al-Kāmil fi Ma’rifat Awāliri wa
al-Awā’il. Jilid II. Mesir: Syarikah Matba’ah Mustafa- Babil Halabi wa
Alādih, 1375 H.
al-Manawi,
Mustafa Muhammad al-Allāmah. Faedul Qadīr. Jilid IV. Mesir: Sanabun
Maktabah, 1357 H.
Nicholson.
The Mystic of Islam. London: Keqan Paul Ltd., 1966.
Permadi,
K. Pengantar Ilmu Tasawuf. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Sahabuddin.
Metode Mempelajari Ilmu Tasawuf, menurut Ulama Sufi Cet. II; Surabaya:
Media Varia Ilmu, 1996.
Siregar,
H.A. Rivay. Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Cet. I;
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
-o
0 o-
[1]Mustafa
Muhammad al-Allāmah al-Manawi, Faedul Qadīr, jilid IV (Mesir: Sanabun
Maktabah, 1357 H.), h. 390.
[2]Sahabuddin,
Metode Mempelajari Ilmu Tasawuf, menurut Ulama Sufi (Cet. II; Surabaya:
Media Varia Ilmu, 1996), h. 6.
[3]Ibid.,
h. 7.
[4]Lihat
H.A. Rivay Siregar, Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Cet. I;
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 36.
[5]Liohat
Al-Muhāzib, al-Ri’āyah li al-Huqūq al-Insān; al-Harraj, al-Tariq
ilallah; al-Junaid, Dawa’ al-Aywah.
[6]Lihat
Ibid., h. 37.
[7]Lihat
Nicholson, The Mystic of Islam (London: Keqan paul Ltd., 1966), h. 4.
nama lengkapnya adalah Reynold Alleyne Nicholson seorang orientalis Barat yang
ahli dalam sejarah dan mistikisme dalam Islam.
[8]Lihat
Fazlur Rahman, Islam, diterjemahkan oleh Ahsin dengan judul Islam
(Bandung: Pustaka, 1984), h. 185.
[9]Lihat
H. A. Rivay Siregar, op. cit., h. 39.
[10]Ittihad
yaitu beralihnya sifat kemanusiaan seseorang ke dalam sifat ke-Ilahi-an
sehingga terjadi pernyataan dengan Tuhan (fana). Lihat Fazlur Rahaman, op.
cit., h. 186.
[11]LIihat
Ibid., h. 187.
[12]Lihat
ibid., h. 187.
[13]Lihat
H.A. Rivay Siregar, op. cit., h. 43.
[14]Lihat
Ibnu Athaillah al-Iskandariah Syekh ahamd ibn Athaillah, pengubah Abu
Jihaduddin Rifqi al-Hanif dengan judul Mempertajam Mata Hati (t.t:
Bintang Pelajar, 1990), h. 5.
[15]Lihat
Sahabuddin, op. cit., h. 12.
[16]K.
Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997),
h. 31.
[17]Sahabuddin,
op. cit., h. 13.
[18]Al-Syekh
Abd al-Karim ibn Ibrahim al-Jaeliy, Insān al-Kāmil fi Ma’rifat Awāliri wa
al-Awā’il , jilid II (Mesir: Syarikah Matba’ah Mustafa- Babil Halabi wa
Alādih, 1375 H), h. 25.
[19]Ibnu
Athaillah al-Iskandariy, al-Hikam, diterjemahkan oleh Salim Bahreisy
dengan judul Tarjamah al-Hikmah (Cet. V; Surabaya: Balai Buku, 1984), h.
6.
[20]H.
A. Rivay Siregar, op. cit., h. 5
Al-Kalabadzi,
al-Ta’arruf li Madzhab ahl al-Tashawuf (al-Maktabah al-Kulliyat al- Azhariyyah, Cairo,1969) h. 28
Ibrahim
Basuni, Nasy’ah al-Tashawuf al-Islami, Juz III (Dar al-Maarif, Mesir,1119), h.
9
Abuddin
Nata, Ilmu Kalam, Filasafat dan Tawawuf (Dirasah Islamiyah IV)(Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2001), h. 153