Sebutan Al-Farabi berasal dari kota
Farab. Nama lengkap Al-Farabi : Abu Nashr Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Tharkhan
Al-Farabi. Al-Farabi pernah tinggal di Baghdad selama 20 tahun, belajar pada
Bishr Matta Ibnu Yunus dan Juhana Ibnu Haylam, kemudian ia pindah ke Aleppo
untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan filsafat dan juga mengarang .
Al-Farabi adalah seorang filosof muslim dalam arti yang sebenarnya. Ia telah
menciptakan sistem filsafat yang relatif lengkap, dan telah memainkan peranan
penting dalam perkembangan pemikiran filsafat di dunia Islam. Ia menjadi
anutan/guru dari filosof-filosof Islam sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibnu
Rusyd .
Al-Farabi terkenal sebagai filosof sinkretisme yang mempercayai filsafat.
Al-Farabi berusaha meemadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang
sebelumnya, terutama pemikiran plato dan plotinus, juga antara agama dan
filsafat . Usaha Al-Farabi diperluas lagi, bukan hanya mempertemukan aneka
aliran filsafat yang bermacam-macam, tapi ia berkeyakinan bahwa aliran-aliran tersebut
pada hakikatnya satu, meskipun berbeda-beda corak dan macamnya . Menurutnya,
tujuan filsafat itu memikirkan kebenaran, karena kebenaran itu hanya ada satu,
tidak ada yang lain .
Al-Farabi berkeyakinan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, justru
sama-sama membawa kebenaran . Hal ini terbukti dengan karangannya yang berjudul
Al-Jami’ Baina Ra’yani Al-Hakimain dengan maksud mempertemukan pikiran-pikiran
plato dengan Aristoteles. Kendatipun begitu, Al-Farabi juga mempertemukan
hasil-hasil pemikiran filsafat dengan wahyu dengan bersenjatakan ta’wil
(interpretasi batini) . Al-Farabi umumnya dianggap sebagai pendiri dan seorang
wakil paling terkemuka aliran utama filsafat Islam, yaitu aliran Masysyai
(Peripaterik) filosof-keilmuan. Tidak heran jika ia mendapat gelar Al-Mu’alim
Al-Tsani .
Al-Farabi adalah orang pertama yang memberikan uraian sistematik terhadap
hirearki wujud dalam kerangka hirearki intelegensi dan jiwa serta pemancaran
(faidh)-nya dari Tuhan. Al-Farabi membagi wujud menjadi tiga jenis berdasarkan
jumlah sebabnya. Pertama, wujud keberadaannya sama sekali tidak memiliki sebab.
Al-Farabi menyebut wujud ini sebagai wujud pertama atau sebab pertama yang
merupakan prinsip tertinggi eksistensi setiap wujud lainnya. Tentang prinsip
tertinggi ini hanya terbatas pada pengetahuan tentang hal itu dan bukan
prinsip-prinsip wujudnya. Kedua, wujud yang memiliki keempat sebab
Aristetolian: material, formal, efisien, dan final. Jenis kedua ini mengacu
kepada genus-genus benda terindra, termasuk benda langit. Ketiga, wujud yang
sepenuhnya immaterial - yang lain daripada wujud benda di dalam atau menempati
benda-benda . Atas dasar tiga skema klasifikasi wujud di atas, maka pembahasan
makalah ini mengecil pada basis ontologis yang khas Faribian
Ilmu Logika
Al-Farabi memiliki pengaruh yang besar bagi para pemikir Eropa
Second
teacher
alias mahaguru kedua. Begitulah Peter Adamson pengajar filsafat di
King’s College London, Inggris, menjuluki Al-Farabi sebagai pemikir
besar Muslim pada abad pertengahan. Dedikasi dan pengabdiannya dalam filsafat
dan ilmu pengetahuan telah membuatnya didaulat sebagai guru kedua setelah
Aristoteles: pemikir besar zaman Yunani.
Sosok dan
pemikiran Al-Farabi hingga kini tetap menjadi perhatian dunia. Dialah filosof
Islam pertama yang berhasil mempertalikan serta menyelaraskan filsafat politik
Yunani klasik dengan Islam. Sehingga, bisa dimengerti di dalam konteks
agama-agama wahyu. Pemikirannya begitu berpengaruh besar terhadap dunia Barat.
”Ilmu Logika
Al-Farabi memiliki pengaruh yang besar bagi para pemikir Eropa,” ujar Carra de Vaux. Tak
heran, bila para intelektual merasa berutang budi kepada Al-Farabi atas ilmu
pengetahuan yang telah dihasilkannya. Pemikiran sang mahaguru kedua itu juga
begitu kental mempengaruhi pikiran-pikiran Ibnu Sina dan Ibnu Rush. Al-Farabi
atau Barat mengenalnya dengan sebutan Alpharabius memiliki nama lengkap Abu Nasr Muhammad ibn al-Farakh al-Farabi.
Tak seperti
Ibnu Khaldun yang sempat menulis autobiografi, Al-Farabi tidak menulis
autobiografi dirinya.
Tak ada pula
sahabatnya yang mengabadikan latar belakang hidup sang legenda itu, sebagaimana
Al-Juzjani mencatat jejak perjalanan hidup gurunya Ibnu Sina. Tak heran, bila
muncul beragam versi mengenai asal-muasal Al-Farabi. Ahli sejarah Arab pada
abad pertengahan, Ibnu Abi Osaybe’a, menyebutkan bahwa ayah Al-Farabi
berasal dari Persia. Mohammad Ibnu Mahmud Al-Sahruzi juga menyatakan Al-Farabi
berasal dari sebuah keluarga Persia.
Namun, menurut
Ibn Al-Nadim, Al-Farabi berasal dari Faryab di Khurasan. Faryab adalah
nama sebuah provinsi di Afganistan. Keterangan itu diperoleh oleh Al-Nadim dari
temannya bernama Yahya ibn Adi yang dikenal sebagai murid terdekat Al-Farabi.
Sejumlah ahli sejarah dari Barat, salah satunya Peter J King juga
menyatakan Al-Farabi berasal dari Persia. Berbeda dengan pendapat para ahli di
atas, ahli sejarah abad pertengahan, Ibnu Khallekan, mengklaim bahwa Al-Farabi
lahir di sebuah desa kecil bernama Wasij di dekat Farab ( sekarang Otrar
berada di Kazakhstan). Konon, ayahnya berasal dari Turki. Menurut Encyclopaedia
Britannica, Al-Farabi juga berasal dari Turki atau Turki Seljuk.
Konon,
Al-Farabi lahir sekitar tahun 870 M. Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya di
Farab. Di kota yang didominasi pengikut mazhab Syafi’iyah itulah Al-Farabi
menempuh pendidikan dasarnya. Sejak belia, Al-Farabi sudah dikenal berotak
encer alias sangat cerdas. Ia juga memiliki bakat yang begitu besar untuk
menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari. Setelah menyelesaikan studi
dasarnya, Al-Farabi hijrah ke Bukhara untuk mempelajari ilmu fikih dan
ilmu-ilmu lainnya. Ketika itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual
serta religius Dinasti Samaniyah yang menganggap dirinya sebagai bangsa Persia.
Saat itu Bukhara dipimpin Nashr ibn Ahmad (874-892). Pada masa itulah
Al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia. Di
kota lautan pengetahuan itu pula Al-Farabi muda mengenal dan mempelajari musik.
936.
Dia sempat
menjadi seorang qadhi. Setelah melepaskan jabatan qadhi-nya, Al-Farabi hijrah
ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian serta filsafat. Guru utama
filsafatnya adalah Yuhanna ibn Hailan, seorang Kristen. Dari Ibnu
Hailan-lah dia mulai bisa membaca teks-teks dasar logika Aristotelian, termasuk
Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun
sebelumnya.
Beberapa tahun
sebelum kitab-kitab Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Al-Farabi
telah menguasai bahasa Syria dan Yunani. Pada 901 M, bersama sang guru,
Al-Farabi dia mengembara ke Baghdad yang saat itu menjadi kota metropolis
intelektual pada abad pertengahan. Ketika kekhalifahan Al-Muqtadir
(908-932), berkuasa, Al-Farabi sempat pula pergi ke Konstantinopel untuk
memperdalam filsafat dan singgah di Harran. Ketika 910-920 M, Al-Farabi
kembali ke Baghdad. Di negeri 1001 malam itu, dia terus mengembangkan
ketertarikannya untuk menggali dan mempelajari alam semesta dan manusia.
Ketertarikannya pada dua hal itu membuatnya tertarik untuk menggali filsafat
kuno terutama filsafat Plato dan Aristoteles.
Dengan otaknya
yang cemerlang, Al-Farabi membuat terobosan untuk menggabungkan filsafat Platonik
dan Aristotelian dengan pengetahuan mengenai Alquran serta beragam ilmu
lainnya. Beruntung Al-Farabi bisa menimba ilmu dari sejumlah guru yang mumpuni.
Ia belajar filsafat Aristoteles dan logika langsung dari seorang filosof
termasyhur Abu Bishr Matta ibnu Yunus. Dalam waktu yang tak terlalu
lama, kecemerlangan pemikiran Al-Farabi mampu mengatasi reputasi gurunya dalam
bidang logika. Sedangkan tata bahasa Arab di pelajarinya dari seorang pakar
tata bahasa dan linguistik kondang bernama Abu Bakr ibn Saraj. Selain
menguasai filsafat dan bahasa, Al-Farabi juga dikenal sebagai ilmuwan yang
berjasa dan memberi kontribusi dalam berbagai bidang ilmu seperti, aritmatika,
fisika, kimia, medis, astronomi, dan musik.
Akhir tahun 942
M, hengkang dari Baghdad ke Damaskus, karena situasi politik yang memburuk.
Selama dua tahun tinggal di Damaskus, pada siang hari Al-Farabi bekerja sebagai
penjaga kebun. Sedangkan pada malam hari dia membaca dan menulis karya-karya
filsafat. Ia sempat pula hijrah ke Mesir dan lalu kembali lagi ke Damaskus pada
949 M. Ketika tinggal di Damaskus untuk yang kedua kalinya, Al-Farabi mendapat
perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah.
Saif al-Daulah sangat terkesan dengan Al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang
filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa.
Ratusan kitab
telah dihasilkan Al-Farabi. Kehidupan sufi yang dijalaninya membuatnya tetap
hidup sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir
filsafatnya. Ia tutup usia di Damaskus pada 970 M. Amir Sayf ad-Dawla kemudian
membawa jenazahnya dan menguburkannya di Damaskus. Ia dimakamkan di pemakaman Bab
as-Saghir yang terletak di dekat makam Muawiyah, yang merupakan
pendiri dinasti Ummayah.
Pemikiran
dan Filsafat Al-Farabi
Filsafat Al-Farabi dapat
dikelompokkan ke dalam Neoplatonis. Ia mensintesiskan buah pikir dua pemikir
besar, yakni Plato dan Aristoteles. Guna memahami pemikiran kedua filsfuf
Yunani itu, Al-Farabi secara khusus membaca karya kedua pemikir besar Yunanni
itu, yakni On the Soul sebanyak 200 kali dan Physics sampai 40
kali.
Al-Farabi pun
akhirnya mampu mendemonstrasikan dasar persinggungan antara Aristoteles dan
Plato dalam sejumlah hal, seperti penciptaan dunia, kekekalan ruh, serta
siksaan dan pahala di akhirat kelak. Konsep Farabi mengenai alam, Tuhan,
kenabian, esensi, dan eksistensi tak dapat dipisahkan antara keduanya. Mengenai
proses penciptaan alam, ia memahami penciptaan alam melalui proses pemancaran (emanasi)
dari Tuhan sejak zaman azali.
Menurut
Al-Farabi, Tuhan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya.
Al-Farabi mengungkapkan bahwa Tuhan itu Esa karena itu yang keluar dari-Nya
juga harus satu wujud. Sedangkan mengenai kenabian ia mengungkapkan bahwa
kenabian adalah sesuatu yang diperoleh nabi yang tidak melalui upaya mereka.
Jiwa para nabi telah siap menerima ajaran-ajaran Tuhan.
Sementara itu,
menurut Al-Farabi, manusia memiliki potensi untuk menerima bentuk-bentuk
pengetahuan yang terpahami (ma’qulat) atau universal-universal. Potensi
ini akan menjadi aktual jika ia disinari oleh ‘intelek aktif’. Pencerahan oleh
‘intelek aktif’ memungkinkan transformasi serempak intelek potensial dan obyek
potensial ke dalam aktualitasnya. Al-Farabi menganalogkan hubungan antara akal
potensial dengan ‘akal aktif’ seperti mata dengan matahari.
Menurutnya, mata
hanyalah kemampuan potensial untuk melihat selama dalam kegelapan, tapi dia
menjadi aktual ketika menerima sinar matahari. Bukan hanya obyek-obyek
indrawi saja yang bisa dilihat, tapi juga cahaya dan matahari yang menjadi
sumber cahaya itu sendiri. Terkait filsafat kenegaraan, Al-Farabi membagi
negara ke dalam lima bentuk. Pertama ada negara utama (al-madinah
al-fadilah). Inilah negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan. Bentuk
negara ini dipimpin oleh para nabi dan dilanjutkan oleh para filsuf. Kedua negara
orang-orang bodoh (al-madinah al-jahilah). Inilah negara yang penduduknya tidak
mengenal kebahagiaan.
Ketiga negara orang-orang fasik. Inilah
negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, tetapi tingkah laku mereka sama
dengan penduduk negara orang-orang bodoh. Keempat negara yang
berubah-ubah (al-madinah al mutabaddilah). Penduduk negara ini awalnya
mempunyai pikiran dan pendapat seperti yang dimiliki penduduk negara utama,
tetapi mengalami kerusakan. Kelima negara sesat (al-madinah ad-dallah).
Negara sesat adalah negara yang pemimpinnya menganggap dirinya mendapat wahyu.
Ia kemudian menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatannya.
Kontribusi
Ilmuwan Besar
Logika
Al-Farabi adalah ahli logika muslim pertama yang mengembangkan logika
no-Aristotelian. Dia membagai logika ke dalam dua kelompok, pertama idea dan
kedua bukti.
Musik
Selain seorang ilmuwan, Al-Farabi juga seorang seniman. Dia mahir memainkan
alat musik dan menciptakan beragam instrumen musik dan sistem nada Arab yang
diciptakannya hingga kini masih tetap digunakan musik Arab. Dia juga berhasil
menulis Kitab Al-Musiqa – sebuah buku yang mengupas tentang musik. Bagi
Al-Farabi, musik juga menjadi sebuah alat terapi.
Fisika
Farabi juga dikenal sebagai ilmuwan yang banyak menggali pengetahuan tentang
eksistensi alam dalam fisika.
Psikologi
Social Psychology and Model City merupakan risalat pertama Al-Farabi dalam
bidang psikologi sosial. Dia menyatakan bahwa, ”Seorang individu yang
terisolasi tak akan bisa mencapai kesempurnaan dengan dirinya sendiri, tanpa
bantuan dari orang lain.”
Abu Nashr
Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi atau yang biasa
dikenal dengan al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab,
Propinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 890. Dia berasal dari keluarga
bangsawan-militer Turki.
Al-Farabi
melewatkan masa remajanya di Farab. Di kota yang mayoritas mengikuti mazhab
Syafi’iyah inilah al-Farabi menerima pendidikan dasarnya. Dia digambarkan
“sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir
setiap subyek yang dipelajari.” Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi
belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir
dan ilmu hadits) dan aritmetika dasar.
Setelah
menyelesaikan studi dasarnya, al-Farabi pindah ke Bukhara untuk menempuh studi
lanjut fiqh dan ilmu-ilmu lanjut lainnya. Pada saat itu, Bukhara merupakan ibu
kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah yang menganggap
dirinya sebagai bangsa Persia. Pada saat al-Farabi di Bukhara, Dinasti
Samaniyah di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad (874-892). Munculnya Dinasti
ini menandai munculnya budaya Persia dalam Islam. Pada masa inilah al-Farabi
mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia. Juga di Bukhara
inilah al-Farabi pertama kali belajar tentang musik. Kepakaran al-Farabi di
bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Kitab al-Musiqa al-Kabir
atas permintaan Abu Ja’far Muhammad ibn al-Qasim, Wazir Khalifah al-Radhi tahun
936.
Sebelum dia tenggelam
dalam karir filsafatnya, terlebih dahulu dia menjadi seorang qadhi. Setelah
melepaskan jabatan qadhinya, al-Farabi kemudian berangkat ke Merv untuk
mendalami logika Aristotelian dan filsafat. Guru utama al-Farabi adalah Yuhanna
ibn Hailan. Di bawah bimbingannya, al-Farabi membaca teks-teks dasar logika
Aristotelian, termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari
seorang Muslim pun sebelumnya di bawah bimbingan guru khusus. Dari fakta ini
diyakini bahwa al-Farabi telah menguasai bahasa Siria dan Yunani ketika belajar
kitab-kitab Aristoteles tersebut karena kitab tersebut baru diterjemah ke dalam
bahasa Arab pada tahun-tahun setelah al-Farabi mempelajarinya dalam bahsa
aslinya.
Setelah dari
Merv, bersama gurunya ia berangkat ke Bagdad sekitar tahun 900. Pada masa
kekhalifahan al-Muqtadir (908-932), bersama gurunya ia berangkat ke
Konstantinopel untuk lebih memperdalam filsafat. Tapi, sebelumnya ia sempat
singgah beberapa waktu lamanya di Harran. Pada rentang tahun 910-920 ia kembali
ke Bagdad dan di sana ia menemui Matta ibn Yunus, seorang filosof Nestorian,
telah memiki reputasi yang tinggi dalam bidang filsafat dan mampu menarik minat
banyak orang dalam kuliah-kuliah umumnya tentang logika Aristotelian. Segera ia
bergabung menjadi murid Matta. Akan tetapi, kecemerlangan al-Farabi dengan
singkat mampu mengatasi reputasi gurunya dalam bidang logika.
Pada akhir
tahun 942, ia pindah ke Damaskus karena situasi politik Bagdad yang memburuk.
Dia sempat tinggal di sana selama dua tahun dimana waktunya siang hari
digunakan untuk bekerja sebagai penjaga kebun dan malam hari dihabiskan untuk
membaca dan menulis karya-karya filsafat. Dengan alasan yang sama, ia pindah ke
Mesir untuk pada akhirnya kembali lagi ke Damaskus pada tahun 949. Selama masa
tinggal di Damaskus yang kedua ini al-Farabi mendapat perlindungan dari putra
mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah (w. 967). Dalam perjumpaan
pertamanya, Saif al-Daulah sangat terkesan dengan al-Farabi karena kemampuannya
dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa.
Kehidupan sufi asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan
sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya.
Akhirnya, pada bulan Desember 950, ia meninggal dunia di tempat ini (Damaskus)
pada usia delapan puluh tahun.
Manusia menurut
Farabi memiliki potensi untuk menerima bentuk-bentuk pengetahuan yang terpahami
(ma’qulat) atau universal-universal. Potensi ini akan menjadi aktual jika ia
disinari oleh Intelek Aktif. Pencerahan oleh Intelek Aktif memungkinkan
transformasi serempak intelek potensial dan obyek potensial ke dalam
aktualitasnya. Al-Farabi menganalogkan hubungan antara akal potensial dengan
Akal Aktif seperti mata dengan matahari. Mata hanyalah kemampuan
potensial untuk melihat selama dalam kegelapan, tapi dia menjadi aktual
ketika menerima sinar matahari. Bukan hanya obyek-obyek indrawi saja yang bisa
dilihat, tapi juga cahaya dan matahari yang menjadi sumber cahaya itu sendiri.
Di samping itu,
intelek manusia sendiri memiliki apa yang disebut dengan pengetahuan primer.
Pengetahuan primer ada dengan sendirinya dalam intelek manusia dan kebenarannya
tidak lagi membutuhkan penalaran sebelumnya. Pengetahuan ini misalnya bahwa
tiga adalah angka ganjil atau bahwa keseluruhan lebih besar dari bagiannya.
Intelek
potensial yang sudah disinari akan berubah menjadi bentuk yang sama dengan
pengetahuan primer yang diterimanya sebagai bentuk tersebut. Untuk
menggambarkan proses ini, al-Farabi menganalogkan dengan sepotong benda yang
masuk ke dalam lilin cair, benda terseut tidak hanya tercetak pada lilin, tapi
ia juga merubah lilin cair tersebut menjadi sebuah citra utuh benda itu sendiri
sehingga ia menjadi satu. Atau, bisa juga dianalogkan dengan sepotong kain yang
masuk ke dalam zat pewarna. Perolehan aktualitas oleh akal potensial
menjadi sempurna jika proses ini tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan
primer, tapi juga dengan pengetahuan yang diupayakannya. Pada tahap ini,
intelek aktual merefleksikan dirinya sendiri. Kandungan intelek aktual adalah
pengetahuan murni. Intelek aktual dapat mengetahui dirinya sendiri karena ia
merupakan intelek sekaligus pengetahuan itu sendiri. Ketika intelek aktual
sudah sampai pada tahap ini, ia menjadi apa yang disebut al-Farabi dengan
intelek perolehan atau al-aql al-mustafad atau acquired intelect.
Dengan
demikian, intelek perolehan merujuk pada intelek aktual ketika mencapai tahap
mampu memposisikan diri sebagai pengetahuan (self-intelligible) dan bisa
melakukan proses pemahaman tanpa bantuan kekuatan lain (self-inttellective).
Intelek perolehan adalah bentuk intelek manusia paling tinggi. Intelek
perolehan adalah yang paling mirip dengan dengan Intelek Aktif karena keduanya
memiliki kandungan yang sama. Di samping itu, akal perolehan juga tidak
membutuhkan raga bagi kehidupannya dan tidak membutuhkan kekuatan fisik badani
untuk aktifitas berpikirnya.
(Source:
Sekilas sejarah pemikiran filosof di atas dinukil dari buku Tujuh Filsuf
Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Modern, diterbitkan oleh LKiS, dikarang oleh
Zainul Hamdi -warga Averroes) (Disedot dari Averroes Community)
Al Farabi adalah seorang pendiri tradisi
utama filsafat Islam sebagaimana yang kita kenal saat ini. Penghormatan yang
telah diterimanya dari para pelanjutnya tidak selalu diikuti dengan pemahaman
yang jelas akan perannya sebagai pendiri atau dengan apresiasi yang lengkap akan
pencapaiannya sebagai seorang filosof. Filosof-filosof besar seperti Ibnu Sina,
Ibnu Rusyd, dan Mulla Shadra terus menerus mengingatkan kita bahwa kita perlu
tahu banyak tentang sosok yang sudah mencapai puncak ini. Tetapi, mereka tidak
selalu menolong kita untuk mengetahui minat pokoknya atau jalan yang telah dia
petakan untuk dirinya sendiri. Sebagai filosof, mereka mempunyai minat dan
memetakan jalan mereka sendiri-sendiri. Kita harus kembali kepada
tulisan-tulisan Al Farabi sendiri. Hanya dengan cara ini, kita dapat sepenuhnya
memahami hubungannya dengan para pendahulunya yang mengikuti jalan Islam dan
filsafat Hellenistik, dan bagaimana dia membangun tradisi utama filsafat Islam.
Karena tulisan-tulisan al Farabi masih dalam proses penelitian, catatan-catatan
berikut tidak lebih hanya merupakan kesan-kesan pertama.
Pendahulu-pendahulu Al Farabi: Al Kindi dan
Al Razi
Para sejarahwan filsafat Islam, biasanya
-pada awalnya- mendekati Al Farabi melalui problem penerjemahan dan literature
terjemahan. Mereka menghitung buku-buku yang diterjemahkan dari bahasa Yunani
dan Syiria, atau dari keduanya, dan menjelaskan tehnik-tehnik penerjemahan,
serta meringkas dan menguraikan bagian penting dari naskah-naskah seperti
theology of Aristotle atau yang dikenal dengan Liber de Causis.
Apa yang tidak biasa mereka lakukan dan apa yang perlu lebih sering kita
lakukan adalah bertanya tentang apa yang telah dikerjakan oleh para filosof
muslim terhadap terjemahan literature-literatur tersebut. Buku seperti theology
of Aristotle digunakan antara lain oleh Farabi, Suhrawardi, dan Mulla Shadra,
diantara para filosof lainnya. Apakah mereka begitu saja menyerapnya, atau
apakah mereka mencoba mempelajari, memahami, memodifikasi, melengkapi dan
menggunakan buku itu dengan cara yang lain? Lebih umum lagi, apakah sejarah
neoplatonisme di dalam Islam merupakan sejarah ide-ide yang, katakanlah, mau
tak mau berjalan melalui jalur yang tersedia dalam Islam?
Diantara banyak filosof muslim, setidaknya, hal ini merupakan sejarah
penggunaan secara sadar dan memang ini berguna dalam banyak hal. Dan adalah al
Farabi yang menunjukkan kepada mereka bagaimana dan untuk tujuan apa literature
neoplatonik ini dapat digunakan.
Para sejarahwan berikutnya bergerak ke
teologi Islam awal (kalam). Sejauh menyangkut filsafat, dapat dikatakan bahwa
sumbangan utama teologi Islam adalah untuk menyiapkan landasan bagi tumbuhnya
filsafat, untuk melunakkan pikiran dan sikap masyarakat muslim, dan untuk
merangsang penggunaan akal sampai pada titik ketika filsafat dapat mengakar dan
mulai tumbuh. Dalam satu hal, ini memiliki arti yang amat sederhana. Jika orang
melihat awal mula berbagai masyarakat beragama, ia akan mendapatkan bahwa
masyarakat itu “dikuasai” oleh wahyu dan pesan Tuhan. Masa ini bukanlah saatnya
untuk melakukan perenungan sunyi atau untuk menggarap akibat-akibat dari wahyu
tersebut.
Diperlukan beberapa saat sebelum tingkatan
berikutnya dapat dicapai dan disinilah teologi memainkan peran pentingnya.
Teologi menerima pesan, hukum Tuhan, atau wahyu, dan lambat laun bergerak
menjauhi sumber aslinya. (sejarah teologi Islam, menurut saya, mengandung
pelajaran penting mengenai hal ini). Teologi menguraikan banyak masalah yang
dimunculkan wahyu. Ia mencoba mengharmoniskan pernyataan-pernyataan yang tanpak
tidak konsisten dan membuat eksplisit hal-hal yang hanya emplisit dalam wahyu,
misalnya Mu’tazilah sampai pada kesimpulan bahwa syarat bagi seseorang untuk
memperoleh iman sejati adalah bahwa orang itu dengan kemampuannya sendiri
(dengan akalnya dan bebas dari iman) harus mengetahui semua hal berikut ini:
eksistensi, esensi, dan sifat-sifat Tuhan; mungkinnya kenabian dan wahyu; apa
yang benar dan salah dalam tindakan manusia; serta struktur dunia fisik dan
hubungannya dengan penciptanya. Semua ini menurut Mu’tazilah, harus diketahui
oleh seseorang melalui akalnya sendiri sebelum ia dapat menyebut dirinya
sebagai mukmin sejati; jika tidak, demikian mereka berargumen, ia percaya
berdasarkan otoritas dan peniruan orang lain -dan ini bukan kepercayaan yang
sejati. Kalau kita mau melihat titik permulaannya – wahyu dan kekuatannya atas
manusia – saya kira dapat dimengerti bahwa masyarakat memerlukan satu atau dua
abad untuk sampai pada kesimpulan yang demikian. Dalam melalui jalan ini,
teologi Islam menyiapkan jalan bagi filsafat Islam, meskipun hal itu bukan
sebagaimana dimaksudkan pada awalnya. Sejak awal sekali, filosof-filosof muslim
sangat memperhatikan teologi.
Mereka menemukan bahwa teologi adalah suatu
disiplin keagamaan yang paling dekat dengan disiplin mereka sendiri, dan mereka
mendapatkan manfaat dalam merenungkan masalah-masalah, metode-metode, dan
kesimpulan-kesimpulan dalam teologi.
Akhirnya, para sejarahwan sampai pada dua
pemikir yang tampaknya memberikan permulaan filsafat Islam dan dengan demikian
berhak disebut sebagai pendahulu-pendahulu al Farabi, yaitu al Kindi dan al
Razi. Dalam kasus al Kindi, tidak ada bukti -paling tidak dalam buku-buku
karyanya yang telah diketemukan- bahwa dia adalah seorang teolog atau
mu’tazili, meskipun ia hidup ketika kaum mu’tazilah Baghdad memainkan peran
pentingnya di masyarakat dan dia dikaitkan dengan pengadilan yang mendorong
pergerakan teologis ini dan, sampai tingkat tertentu, bahkan menyokong dan
melindunginya. Lebih jauh, minatnya terhadap apa yang dianggap sebagai persoalan
sentral mu’tazilah -persoalan teologis mengenai pengetahuan manusia maupun
Tuhan- tampaknya mengambil bentuk agak berbeda dari mu’tazilah. Dia agaknya
ingin mengatakan bahwa, pada prinsipnya semua pengetahuan dapat diperoleh
manusia sebagai manusia, walaupun terdapat jalan lain ke pengetahuan yang sama,
yang merupakan jalan pewahyuan Tuhan. Jalan pewahyuan ini merupakan jalan
pintas dari jalan yang panjang dan berat yang harus dilalui oleh orang yang
mencoba memperoleh pengetahuan tersebut dengan kekuatan dirinya sendiri. Orang
dapat mengatakan bahwa semua ini bisa jadi sama sekali tidak bertentangan
dengan posisi teologis mu’tazilah. Tetapi, dengan melihat lebih dekat kepada
apa yang ditulis al Kindi, akan tampak bahwa semangat, tujuan dan substansi
pemikirannya sama sekali berbeda dari mu’tazilah.
Perbedaan yang paling penting adalah
pengakuannya terhadap apa yang disebutnya sebagai sumbangan kepada kebenaran
yang diberikan oleh orang-orang kuno, yang dipandangnya sebagai
pendahulu-pendahulunya; demikian pula, dia menerima sumbangan itu dengan sikap
terbuka dan rasa terima kasih. Disini, untuk pertama kali, kita melihat seorang
yang jelas-jelas memperhatikan apa yang dipikirkan dan disumbangkan oleh para
filosof seperti Plato dan Aristoteles, atau Sabian, kepada pengetahuan. Ini
tidak berarti bahwa dia menerima segala yang diberikan kepadanya oleh
tradisi-tradisi tersebut. Sebagaimana dikatakannya dalam satu kalimatnya yang
terkenal, adalah tugasnya untuk memahami, menyesuaikan, melengkapi, dan memodifikasi
apa yang diterimanya dalam bahasanya sendiri.
Lebih jauh lagi, pemikirannya berbeda dengan
teolog-teolog itu dalam hal perhatiannya terhadap apa yang kita sebut ilmu
“keras” dan ilmu yang membutuhkan keahlian khusus dan latihan praktis, dan ia
sendiri mempraktikkan ilmu “keras” tersebut. Sejauh yang kita ketahui, tidak
ada teolog periode awal yang pandai dalam ilmu-ilmu seperti matematika,
astronomi, fisika, atau musik. Adalah ciri tradisi filsafat bahwa sejak mula
sekali filsafat atau kebijaksanaan dipahami sebagai tak lebih dari perdebatan
tanpa akhir dimana setiap orang dapat hadir dan semua orang dapat duduk dan
berbicara tentang banyak hal dengan cara “penalaran yang benar”. Filsafat
dianggap terdiri dari beberapa ilmu yang relative saling bebas yang dipikirkan
secara cukup terinci. Prinsip-prinsipnya telah didiskusikan, dikritik dan
dikomentari oleh beberapa generasi penulis klasik yang karya-karyanya dapat
dipelajari secara rinci dan akurat, sedangkan perhatiannya adalah pada hubungan
antara berbagai ilmu dan masalah organisasi pengetahuan. Pada al Kindi,
atmosfir pembicaraannya dan daftar literature klasiknya sudah sangat berbeda
dari para teolog lainnya pada periode ini, yang mengartikan filsafat sebagai
kumpulan doktrin yang sebagin besar anonym. Misalnya, mereka akan mengatakan:
kita tidak percaya X sebagaimana para filosof -semuanya- percaya. Hal ini tidak
dilakukan al Kindi. Dilain pihak, mungkin karena al Kindi mengajukan sebuah
persoalan tentang kesejajaran antara pengetahuan manusia dengan Tuhan serta
melihat pengetahuan Tuhan merupakan jalan yang lebih langsung ke pengetahuan
tentang segala sesuatu, dia mewariskan para filosof berikutnya beberapa
persoalan yang hidup terus pada filsafat Islam:
1. penciptaan alam semesta: apa artinya; bagaimana
emanasinya; disatu pihak, berbeda dengan sebab-akibat yang normal, yang alamiah
(seperti, empat sebab Aristoteles) di pihak lain.
2. keabadian jiwa seseorang: apa artinya;
bagaimana membuktikannya.
3. pengetahuan ilahiah tentang yang
particular: apakah hal ini ada hubungannya dengan yang disebut astrologi;
bagaimana terjadinya, apakah melalui bintang-bintang, atau langsung. (beralih
dari teologi ke filsafat, tampaknya bintang-bintang tiba-tiba mulai memainkan
banyak peran yang lebih besar. Para teolog tidak secara khusus memperhatikan
bintang-bintang dan benda-benda langit. Tetapi, bagi para filosof -apakah itu
berhubungan dengan beberapa jenis penyembahan bintang, pemahaman
prinsip-prinsip dunia fisik, atau penisbahan jiwa dan intelek kepada bintang-bintang
(alasannya memang dapat bermacam-macam) -persoalan tentang hakikat benda-benda
langit yang penting, jika bukan intinya. Tidak boleh dilupakan bahwa filsafat
Islam, seperti filsafat Yunani sebelumnya, mempercayai berbagai mitos tentang
bintang-bintang).
Mempelajari al Razi, kita lihat bahwa
persoalan-persoalan seperti penciptaan dunia atau kekekalan jiwa tidak menjadi
perhatian khusus dari para teolog atau dari yang disebut filosof religius.
Bahkan seseorang yang kiranya tidak percaya pada pewahyuan dan dikabarkan
menganggap kenabian sebagai omong-kosong, masih mempertahankan penciptaan alam
dan kekekalan jiwa manusia, dalam caranya sendiri.
Lebih umum lagi, sebagian besar persoalan
yang diangkat oleh al Kindi -persoalan-persoalan yang menjadi perhatian khusus
filosof Muslim atau filosof religius- sebenarnya dimunculkan (dan
pendirian-pendirian yang analog dengannya juga dikemukakan) oleh
filosof-filosof pagan sebelum Islam, juga oleh filosof-filosof non-religius
pada masa Islam. Apakah seorang filosof menerima atau menolak pendirian yang
sama-sama dipercayai oleh Bible dan Al Qur’an tentang, misalnya, penciptaan,
tampaknya tidak terkait erat dengan apakah ia percaya ataukah tidak terhadap
wahyu. (pertanyaan ini disajikan dalam bentuk yang kompleks tetapi amat jenih
dalam guide-nya Maimonides).
Namun, tidak seperti al Kindi, al Razi,
memiliki pendirian yang baru dalam kaitannya dengan tradisi keilmuan dan
filsafat. Seperti al Kindi, dia amat meminati pemikiran-pemikiran dan
tulisan-tulisan para penulis kuno utama. Tetapi ia melihat hubungannya dengan
pemikiran-pemikiran lebih awal sebagai penerus dalam satu kontinuitas kemajuan,
tanpa memandang para penulis kuno -seperti Aristoteles, Plato, atau Galen-
sebagai manusia yang telah menemukan kebenaran (mutlak), sehingga filsafat atau
ilmu akan selalu berisi dengan komentar atas manusia-manusia tersebut, atau
usaha memahami, menjelaskan, dan mempertahankan ide-ide mereka. (dogmatisme
semacam ini hampir tidak pernah dijumpai pada filsafat Islam. Satu-satunya pengecualian
mungkin adalah Ibnu Rusyd; tetapi bahkan di sini saya sangat meragukan perihal
apa yang biasa dikatakan orang tentang hubungannya dengan Aristoteles,
sebetulnya itu merupakan hasil studi cermat atas karya-karya Aristoteles).
Dengan demikian, al Razi menghasilkan beberapa doktrin penting (berkenaan
dengan waktu, ruang dan seterusnya) yang bertentangan dengan Aristoteles.
Kritik-kritiknya terhadap Aristoteles diabaikan untuk sementara waktu, tetapi
dimunculkan kembali sebagai bagian dari tradisi non-Aristotelian dan
Anti-Aristotelian dalam filsafat Islam. Tampaknya, dia telah membuat doktrin
teologi menjadi radikal, dengan mengatakan bahwa “semua” pengetahuan pada
prinsipnya dapat diperoleh manusia sebagai manusia. Dia dilaporkan telah
mengatakan bahwa akal manusia adalah satu-satunya cara untuk memperoleh
pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang yang baik dan yang buruk; dan bahwa
setiap sumber pengetahuan lainnya hanyalah kebohongan dan dugaan belaka.
Namun, yang harus diingat adalah bahwa kita hanya
memiliki sebagian kecil dari karya-karya filsafat kedua filosof tersebut, dan
kita diharuskan untuk merekonstruksi pemikiran mereka di atas dasar fakta-fakta
yang saling terpisah. Tentunya tidak pasti apakah karya-karya mereka sama
lengkap atau dalamnya dengan karya-karya yang ditulis oleh filosof-filosof lain
dengan judul serupa -paling tidak beberapa karya yang ada kini tampak seperti
lembaran-lembaran yang ditulis tergesa-gesa. Kita tidak dapat mengatakan
tentang apa yang termuat atau tak termuat dalam buku yang tidak berada di
tangan kita. Al Farabi adalah seorang Muslim pertama yang buku-buku filsafatnya
yang secara lengkap kita punyai dalam jumlah cukup besar. Kita tidak memiliki
semuanya. Jika kita perkirakan saja, kita tidak mempunyai bahkan separuh dari
karya-karyanya. Tetapi dibandingkan dengan al Kindi dan al Razi, buku-buku al
Farabi lebih banyak yang kita miliki, terutama di bidang politik dan logika.
Sebagaimana tidak mungkin menerangkan
pemikiran al Kindi dan al Razi sebagai perluasan dari teologi Islam atau
pergerakan mu’tazilah, demikian juga tidak mungkinlah menerangkan pemikiran al
Farabi, sebagai perluasan atau pengembangan pemikiran al Kindi dan al Razi
saja.
Al Farabi menulis buku yang menyangkal metafisika al Razi. Biasanya ia mengabaikan
al Kindi sama sekali. Hal ini terlihat dengan tidak banyak disebutnya nama al
Kindi dalam karya-karya al Farabi. Pengabaian ini kemudian diikuti oleh al
Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan banyak filosof lainnya. Dalam buku tentang
musik, yang di buku itu nama al Kindi disebut, al Farabi menuduhnya berbicara
tentang teori dan praktik musik tanpa mengetahui apa yang dibicarakannya.
Secara umum, sejarahwan filsafat Islam berikutnya mengikuti al Farabi dan Ibnu
Sina dalam mengkritik al Kindi dan al Razi. Kritik-kritik mereka sebagian besar
diturunkan dari penilaian-penilaian yang diberikan oleh al Farabi dan Ibnu Sina
atau murid-muridnya. Dalam kasus al Razi, para ahli sejarah diatas mengatakan
bahwa dia lebih merupakan seorang naturalis daripada seorang ahli metafisika
atau ahli filsafat umum. Dalam kasus al Kindi, para sejarahwan itu mengatakan
bahwa pengetahuan al Kindi tentang logika tidak lengkap. Kritik-kritik tersebut
dan yang serupa menjadi bagian pengetahuan yang diteruskan kepada para sejarahwan
filsafat Islam pada waktu selanjutnya. Tetapi, yang penting bukan hanya bahwa
al Farabi menambahkan metafisika atau logika ke dalam silabus filsafat, atau
bahwa dia adalah murid yang lebih baik dalam metafisika dan logika. Keseluruhan
corak pemikiran dan kualitas pengetahuannya tentang plato dan Aristoteles
berbeda sekali tingkatannya. Mereka semua mempunyai literature terjemahan dan
akses ke sumber-sumber utama yang sama. Al Farabi dan al Razi adalah sezaman
(al Farabi wafat lebih dulu daripada al Razi kira-kira 20 tahunan), sehingga al
Farabi tidak mempunyai akses pada terjemahan yang lebih baik atau penyelidikan
ilmiah yang lebih maju. Karena itu, kita harus mencari keterangan di tempat
lain.
Akses al Farabi kepada Filsafat Yunani Klasik
Ada beberapa rincian histories yang tampaknya
penting sekali dipelajari untuk memahami awal-mula tradisi baru filsafat Islam.
Bagian-bagian yang masih tersisah dari buku al Farabi, “On the Rise of
Philosophy” merupakan sumber utama kita untuk merekonstruksi babakan penting
dalam sejarah filsafat Islam, meskipun demikian tak ada cukup alas an untuk
meragukan gagasan-gagasan utamanya. Al Farabi menerangkan bahwa ia termasuk ke
dalam suatu mazhab filsafat khusus. Mazhab ini, menurutnya, adalah suatu
kelanjutan langsung dari tradisi pengajaran filsafat yang telah ada di
Iskandariyah pada abad 5 dan 6 M. Dalam buku itu, dia membahas perpindahan
mazhab yang dianutnya dari Iskandariah ke Antioch, kemudian ke Carrah (Harran),
dan selanjutnya -lebih jauh lagi- ke timur Iran dan Baghdad. Dia juga
memberikan beberapa informasi tentang guru-guru, murid-murid, dan buku-buku
yang mewakili jalur tradisi mazhab tersebut. Kecuali dua atau tiga murid yang
masih memelihara tradisi itu, mazhab ini hampir punah. Al Farabi menyebutkan
nama guru-gurunya sendiri, yaitu Yuhanna ibnu Haylan, seorang pendeta Kristen
yang tidak jelas propesinya sebagai guru, pelajar ataukah penulis. Tampaknya
jelas bahwa baik al Kindi, al Razi, atau filosof Islam lebih awal tak mempunyai
akses pada tradisi mazhab ini -bukan hanya dalam arti akses kepada
buku-bukunya, tetapi juga kepada manusia-manusianya; dan bukan hanya akses
kepada manusia-manusianya tetapi juga akses kepada buku-bukunya: inilah suatu
tradisi ganda, baik lisan maupun tulisan. Salah satu bagian penting dari
tradisi tersebut adlaah buku “Posterior Analytics”, sebuah karya logika
Aristoteles yang berhubungan dengan persoalan ilmu dan metode ilmu. Al Farabi
menyatakan bahwa otoritas gereja telah melarang untuk melakukan studi berbagai
buku, khususnya karya Aristoteles tersebut, karena dianggap berbahaya. Gereja
membatasi studi logika hanya pada bagian-bagian tertentu (yaitu logika formal,
sampai pada beberapa bab dari “Posterior Analytics”) dan melarang studi
bagian-bagian lainnya untuk umum. Ini dapat berarti bahwa bagian-bagian yang
dilarang tersebut boleh dikaji sendiri, dengan izin gereja, sehingga beberapa
studi bagian-bagian tersebut dapat berlanjut. Kemudian, al Farabi menyatakan
bahwa dia adalah muslim pertama yang memiliki akses kepada naskah “Posterior
Analytics”, karena dia dapat membacanya dalam bahasa Syiria dan Yunani. (kita
tidak tahu apakah gurunya, Yuhanna ibnu Haylan, mengerti bahasa Arab. Kita
tidak mengetahui apakah sebuah versi Arab, oleh seorang bernama Maraya, telah
ada pada masa muda al Farabi atau apakah al Farabi atau gurunya memiliki akses
pada karya itu. Kita tidak tahu pasti apakah al Farabi dapat berbahasa Syiria.
Karena kita tidak tahu pasti tanggal lahirnya al Farabi, atau saat ia mengkaji
buku itu dengan berguru kepada Yuhanna ibnu Haylan, atau saat penerjemahan
“Posterior Analytics” oleh Ishaq ibnu Hunain dari bahasa Yunani ke Syria, kita
mesti mengakui bahwa kita bahkan tidak tahu apakah versi Syria secara utuh ada
pada saat itu – dan dalam kasus ini, harus dipertimbangkan kemungkinan bahwa
baik murid maupun gurunya membaca naskah itu dalam bahasa Yunani!). Meskipun
demikian, buku itu, dalam terjemahan Arabnya, mungkin telah ada pada masa itu.
Tetapi apa yang dimaksud al Farabi disini adalah bahwa dia adalah orang pertama
yang membaca buku tersebut bersama seseorang yang telah menghabiskan waktu
selama bertahun-tahun (mungkin seluruh hidupnya) untuk mempelajari dan mencoba
memahaminya dengan seorang guru yang telah mengerjakan hal yang sama dengan
guru sebelumnya, dan seterusnya. Dengan demikian, disinilah terjadi hubungan
dengan mazhab itu di Iskandariah. Hubungan ini jelas sangat penting. Namun,
yang lebih penting lagi adalah apa yang dipelajari al Farabi dari tradisi
Iskandariah ini dan bagaimana ia memahami dan menafsirkannya.
Hubungan dengan mazhab Iskandariah mulai
tampak pada al Farabi dan kolega-koleganya yang termasuk pada tradisi baru ini,
dalam banyak cara. Misalnya ini dapat dilihat dalam penulisan yang kemudian
disebut sebagai komentar besar (ada dua diantaranya yang bersumber dari al
Farabi) yang menganalisis dan menafsirkan naskan Aristoteles; hal ini juga
dapat dilihat dalam berlanjurnya tradisi kesarjanaan tersebut.
Aristoteles jelas menulis buku. Dan
pemikir-pemikir berikutnya mengekspresikan ide-idenya tentang masalah dalam
buku itu; semuanya didiskusikan. Banyak terdapat ketidaksepakatan diantara
mereka. Semuanya pun dijelaskan. Komentator-komentator yang lebih awal disebut
dan penjelasan mereka disetujui, dikritik dan dikembangkan secara terinci.
Komentar-komentar tersebut menjadi wadah bagi ribuan tahun pemikiran dan
refleksi atas persoalan-persoalan yang dibahas dalam karya-karya Aristoteles.
(tradisi baru ini sangat memperhatikan bukan hanya naskan, tetapi juga
terjemahan terakhir dari komentator-komentator yang lebih awal). Sekali lagi,
perhatian kepada komentator-komentator disini bukan berarti
pandangan-pandangannya yang diterima atau dicoba untuk mensinkronkan
pandangan-pandangan ini. Dapat saja pandangan komentator yang satu diterima,
tetapi pandangan kedua ditolak, sementara yang ketiga didiskusikan, dan
ditunjukkan bahwa yang satu ini dibahas secara dangkal atau yang lainnya
mendalam. Ini adalah lapangan terbuka tempat para pemikir menyelidiki semua
pilihan dan mempertimbangkan peluang untuk menanamkannya dalam sebuah tradisi.
Pada akhirnya, pemikir itu harus mengembangkan pemikirannya sendiri. Paling
tidak, demikianlah beberapa cirri eksternal dari tradisi baru Iskandariah itu.
Sebaliknya, ada pendapat yang mengatakan (dan
saya kira pendapat ini mendekati kebenaran) bahwa al Kindi dapat dihubungkan
dengan apa yang disebut mazhab Athenian (Hellenistik) sebagai lawan mazhab
Iskandariah. Nama besar yang biasanya dihubungkan dengan mazhab Athenian adalah
Proclus. Orang-orang yang berbicara tentang neoplatonisme kadang-kadang tidak
tahu bahwa mereka sedang berbicara tentang sebuah tradisi yang kompleks dan
memiliki banyak sisi. Tak seorang pun mengetahui tentang apa yang dikatakannya
ketika ia berbicara Neoplatonisme secara umum; meskipun kita tetap saja berbicara
tentang Neoplatonisme karena kita tidak mempunyai nama yang lebih baik untuk
dipakai. Ada seseorang yang bernama Plato. Seorang pengajar filsafat dan
matematikawan terkenal di Harvard menyatakan bahwa semua filsafat sejak itu
merupakan serangkaian catatan kaki untuk Plato. Dalam satu hal, semua filsafat
sejak Plato adalah Neoplatonik, tetapi juga terdapat Neoplatonist dan
Neoplatonist. Kemudian, ada juga Middle-Platonist, yang memperhatikan
pengajaran politik Plato. Sayangnya kita tidak mempunyai banyak tulisan mereka.
Kemudian ada Neoplatonisme dari plotinus yang
mencoba -pada hampir setiap halamannya- untuk memecahkan persoalan yang
diajukan oleh Plato dan Aristoteles. Ketika berbicara tentang Neoplatonisme,
kita tak perlu menganggapnya sebagai singkretik, atau anti-Aristotelian atau
anti-Platonik. Kemudian ada Neoplatonisme dari pelanjut-pelanjut Plotinus,
khususnya para sarjana-sarjana yang menguasai sekolah-sekolah filsafat di
Athena dan Iskandariah. Sebagai pimpinan sekolah-sekolah tersebut, mereka terutama
mengajarkan karya-karya Plato dan Aristoteles. Catatan-catatan yang mereka
tulis, atau catatan-catatan yang diperoleh murid-murid mereka dari
kuliah-kuliah berbentuk komentar-komentar besar atau menengah akas karya-karya
Plato dan Aristoteles. Sebagian besar dari gagasan-gagasan mereka sendiri,
berbeda dengan dua tokoh besar diatas, termuat dalam komentar-komentar ini dan
mengambil bentuk perkembangan gagasan-gagasan tertentu dalam naskah Platonik
dan Aristotelian. Kini, mazhab Athena, paling tidak dalam beberapa periode
hidupnya yang panjang, dicirikan oleh ajaran Proclus dan lainnya yang
kelihatannya secara tak terkendali mengembangkan kosmologi yang terdiri dari
banyak lapisan-lapisan malaikat atau ruh, yang tak ada dalam Plotinus.
Orang-orang tersebut memperhatikan penafsiran-penafsiran hal-hal seperti sihir,
ramalan-ramalan, dan alkemi, yang tak diperhatikan oleh kelompok Neoplatonis
lain. Mazhab Iskandariah nampaknya lebih bijaksana dan moderat dalam hal ini.
Ia berusaha menjawab tantangan zaman, yaitu Kristen, dan mencoba menghasilkan
solusi-solusi yang dapat mengharmoniskan beberapa perbedaan dasar antara
filsafat dan agama Kristen. Mazhab Athenian, dilain pihak, tampak ekstrem dalam
mendukung kebangkitan agama-agama kuno, dan para anggotanya menulis karya-karya
pseudo-filsafat, pseudo-ilmu tentang masalah-masalah seperti praktik-praktik
sihir dan agama-agama kuno. Maka, secara luas, dapat dikatakan bahwa terdapat
perbedaan cara pandang diantara dua mazhab diatas dalam persoalan yang
berhubungan dengan filsafat dan agama, paling tidak selama masa dari abad ke 4
sampai ke 6 M. saya katakana “secara luas” karena ada banyak sekali pergerakan
di antara dua mazhab ini. Seorang anak muda cerdas dari Iskandariah akan pergi
ke Athena, belajar pada Proclus, kemudian kembali menjadi pemimpin sekolah
filsafat, atau pengganti pemimpin filsafat di Iskandariah, dan sebaliknya; dua
mazhab itu tidak mewakili dua tradisi yang saling tertutup rapat satu dengan
yang lainnya.
Tradisi Iskandariah secara histories menjadi
penting dikemudian hari dalam bidang filsafat dan ilmu di dunia Islam dan
Bizantium, juga di Barat Latin. Para filosof, komentator, dan pemikir ini
-meskipun dalam beberapa hal mereka sama dengan mazhab Iskandariah- adalah
orang-orang yang mewariskan kepada orang-orang Islam buku-buku beserta
pembacaan-pembacaan dan penafsiran-penafsiran tradisional terhadapnya; ini
mengambil bentuk tradisi kesarjanaan yang terbatasi secara jelas, hubungan yang
cukup jelas dengan pemikiran sebelumnya, sebagaimana yang terjadi pula pada
tahap-tahap awal teologi Islam. Tetapi, meskipun tradisi Iskandariah yang
menghubungkan orang-orang Islam dengan pemikiran Yunani klasik ini teramat
penting, kita mesti menyadari bahwa tradisi Iskandariah (dan Athena) sampai
kepada Bizantium dan kemudian Barat Latin, sejak Renaisans abad
kesebelas-duabelas. Meskipun demikian, ketiga ahli waris Iskandariah dan, lewat
Iskandariah, tradisi Yunani klasik ini tak memahami atau mengembangkan filsafat
dengan cara yang sama. Al Farabi, yaitu filosof pertama yang mewakili tradisi
Iskandariah dalam Islam, bukanlah seorang penerjemah atau sejarahwan filsafat;
bukan sekedar penerus sebuah tradisi filsafat, tetapi ia sendiri adalah seorang
filosof; dan jika seseorang percaya kepada orang-orang seperti Ibnu Sina, Ibnu
Rusyd, dan Mulla Sadra, maka Al Farabi adalah filosof yang harus ditempatkan
setelah Aristoteles sendiri. Karena itu, penting bagi kita untuk mulai memahami
bagaimana al Farabi sendiri memahami, menafsirkan, dan mengajarkan tradisi
filsafat kepada para pembaca muslimnya.
Politik dalam Filsafat Islam Al Farabi
Belakangan ini dikatakan bahwa substansi
pemikiran Al Farabi terdiri dari dua bagian utama: metafisika dan politik. Ilmu
politik atau filsafat politik tidak hadir dalam karya-karya al Kindi dan al
Razi, sejauh yang kita ketahui. Keduanya membahas masalah etika, bukan ilmu
politik. Sebenarnya, ketika al Kindi menyebut ilmu politik, tampaknya ia
berpikir tentang karya etika dari Aristoteles. Dengan demikian, dalam pemikiran
Islam awal, tidak ada persiapan bagi kemunculan ilmu politik sebagai disiplin
penting filsafat. Tetapi anehnya, pada tradisi awal Iskandariah dan Athena,
juga tidak ada persiapan bagi bagi kemunculan ilmu politik sebagai disiplin
penting filsafat, atau pengenalan Plato sebagai, terutama, pemikir politik.
Karena sebagian besar kaum Neoplatonis awal melihat “Timaeus-nya” Plato sebagai
karya mistik dan sama sekali tak menunjukkan minat pada tulisan-tulisan politik
Plato -misalnya “Republic” dan “Laws”- sebagai tulisan politik; minat mereka
pada karya-karya tersebut terutama bertumpu pada mitos, doktrin metafisika, dan
gagasan-gagasan mistik. Tiba-tiba al Farabi menyajikan kepada kita seorang
Plato yang tidak mistis maupun yang metafisis, tetapi terutama, dan
berulang-ulang, sebagai seorang ahli politik.
Inilah seorang Plato yang mempunyai
“Timaeus-nya” bukan sebagai karya kosmologi, tetapi sebagai karya politik yang
dimaksudkan untuk mengajarkan warga Negara agar memiliki pendapat yang benar.
Dan kemudian pembahasan tentang Plato ini, yang disajikan dalam sebuah buku
berjudul “Philosophy of Plato”, diikuti oleh pembahasan tentang karya
Aristoteles, dalam buku berjudul “Philosophy of Aristoteles”, dimana metafisika
lagi-lagi tak tampak. Dan kedua pembahasan ini didahului oleh sebuah buku karya
al Farabi sendiri, yang berjudul “Attainment of Happiness” (pencapaian
kebahagiaan), dengan tema utamanya adalah tentang dilemma atau ketegangan dan
bahkan konflik antara pengetahuan teoritis dan realisasinya -karya ini tidak
hanya menggambarkan pengetahuan praktis atau pengetahuan tentang hal-hal
praktis seperti kebajikan dan kebahagiaan. Mengetahui adalah satu hal,
sementara merealisasi apa yang diketahui- yaitu apa yang diketahui sebagai
berkemungkinan atau dapat direalisasikan – menjadikannya benar-benar maujud di
antara manusia-manusia, kota-kota (masyarakat) dan bangsa-bangsa, adalah hal
lain. Atau, mengetahui adalah merealisasi suatu hal dengan suatu cara tertentu,
yaitu merealisasikannya dalam pikiran; tetapi, realisasi masih mempunyai satu
dimensi lain, yaitu melihat hal tersebut maujud di antara manusia-manusia lain,
serta dalam kota-kota (masyarakat) dan bangsa-bangsa. Ini tidak dicapai dengan
pengetahuan saja.
Bagaimana seseorang merealisasikan sesuatu
diluar pikirannya sendiri? Dan jenis pengetahuan dan aksi apa yang
disyaratkannya? “apakah anda kira,”Tanya al Farabi kepada para
pembacanya,”ilmu-ilmu teoritis ini juga telah membahas cara-cara untuk
merealisasikan keempat hal tersebut dalam bangsa-bangsa atau kota-kota, atau
tidak?”
Bagaimana anda mengusahakan agar hal-hal yang
anda ketahui dapat maujud dalam kota-kota dan bangsa-bangsa? Dapatkah anda
mengusahakan agar hal-hal yang anda ketahui dapat maujud diluar pikiran -persis
sebagaimana hal-hal tersebut diketahui atau apakah pengetahuan tersebut harus
dimodifikasi menurut kondisi-kondisi tertentu? Syarat-syarat apakah yang
memungkinkan realisasinya? Dalam satu saat, pengetahuan teoritis dan
pengetahuan secara umum menjadi pengantar bagi aksi, etika dan politik. Dalam
buku berjudul “Enumeration of the Sciences”, orang dapat menemukan kerangka
yang sama. Kita bergerak dari bahasa ke logika, matematika serta fisika dan
metafisika, dan kemudian ada sesuatu yang terputus dalam metafisika. Metafisika
tidak sekedar menjadi mahkota bagi ilmu. Metafisika juga menjadi pengantar ke
ilmu politik, dan ilmu politik mempelajari segala sesuatu yang penting untuk
realisasi, pemeliharaan dan reformasi.
Dalam makna inilah ilmu politik mencakup
yurisprudensi dan teologi, dan berurusan dengan persoalan-persoalan seperti
kenabian, hukum Tuhan, dan wahyu, karena ini semua dipandang lebih dalam
kerangka realisasi daripada sebagai sekedar masalah-masalah teoritis.
Meski diakui bahwa hal-hal diatas merupakan perspektif yang sama sekali baru
dan radikal dalam memandang metafisika, disatu pihak, dan pewahyuan, hukum
Tuhan, dan kenabian dilain pihak. Tampaknya al Farabi mendesak para pembacanya
untuk membuat persoalan realisasi menjadi persoalan sentral dalam filsafat dan
mencoba memecahkan persoalan-persoalan “apa itu filsafat?” dan “mengapa
filsafat?” dalam perspektif realisasi daripada dalam perspektif pengetahuan
belaka, meskipun perspektif pengetahuan tidak pernah benar-benar tak digunakan.
Cara sederhana yang digunakan orang dalam
mengajukan persoalan ini saat ini adalah hubungan antara apa yang diwahyukan
dengan apa yang diketahui akal. Al Farabi juga memperhatikan masalah hubungan
ini. Tetapi persoalan yang diajukannya tidak sesederhana itu: dalam melihat
hubungan itu ia juga mendesak kita untuk memahami konteksnya. Sebab, jika
kenabian, wahyu dan hukum Tuhan nyatanya menjadi hubungan utama antara
pengetahuan dan realisasi, maka itu semua harus dipahami tidak sebagai sebuah
cara lain untuk mencapai jenis pengetahuan yang sama yang dapat dicapai dengan
akal atau bahkan jenis pengetahuan yang lebih tinggi daripada yang dapat
dicapai dengan akal (seperti al Kindi, misalnya, memahami hal ini), tetapi
sebagai satu jenis pengetahuan khusus yang telah memiliki syarat-syarat yang
perlu untuk realisasi, agar apa yang diketahui maujud diantara manusia,
kota-kota, dan bangsa-bangsa. Dengan cara ini, orang dapat memahami dengan
lebih utuh keluarbiasaan hukum Tuhan, cara komunikasinya, kekonkretannya, dan
perhatiannya terhadap berbagai jenis pendapat dan aksi. Karena inilah orang
dapat mengatakan bahwa pada al Farabi, untuk pertama kalinya kita mempunyai
pendekatan filsafat yang memadai atau lebih memadai terhadap hukum-hukum Tuhan,
yang mungkin menjadi persoalan sentra dalam filsafat Islam.
Ada berbagai cara bagi seseorang untuk
meneruskan studi filsafat politik dalam konteks agama wahyu. Orang dapat
berpikir bahwa cara yang tepat adalah memulainya dengan pembahasan mendalam
tentang ilmu politik, melihat kondisi manusia, dan mencoba memahami dan
menjelaskan apa yang diperlukan untuk perbaikan nasib manusia di bumi dan
mengapa perbaikan tersebut harus mengambil bentuk khusus ini. Atau orang dapat
memulai dengan psikologi dan bertanya bagaimana caranya seorang manusia, yaitu
nabi, mempunyai kekuatan khusus yang membuatnya dapat menerima wahyu dan diberi
hukum Tuhan. Atau orang dapat memulai dengan kosmologi dan bertanya bagaimana
alam semesta tersusun, dari prinsip paling tinggi turun sampai ke manusia, dan
bagaimana susunan ini memungkinkan terjadinya fenomena seperti kenabian, pewahyuan,
dan hukum Tuhan. Tetapi, ketiga pendekatan tersebut berkaitan satu sama lain.
Ilmu politik, psikologi dan kosmologi tampaknya saling berhubungan dalam suatu
cara; orang perlu menyususn struktur kota, struktur jiwa, dan struktur alam
semesta, dan melihat bagaiman itu semua saling dihubungkan. Ini membawa kepada
apa yang dapat disebut sebagai studi perbandingan tentang struktur kota, disatu
pihak, dengan jiwa dan kosmos di lain pihak. Studi tersebut merupakan sebuah
studi yang mesti mempersoalkan apakah ketiganya adalah sesuatu yang identik,
sama, atau dapat dibandingkan dalam hal strukturnya. Studi semacam ini pada
waktu yang sama dapat merupakan studi politik, psikologi dan kosmologi.
Sesungguhnya, dari ketiga struktur tersebut,
hanya satu yang benar-benar kita ketahui, yaitu struktur kota, struktur
politik. Anda tidak dapat membelah hati manusia dan melihat bagaimana
strukturnya. Anda dapat melihat melalui perilakunya, dank arena perilaku
manusia itu terjadinya di dalam kota, maka orang dapat mengatakan bahwa
struktur jiwa itu diproyeksikan ke struktur sebagai gambarannya yang lebih
besar; dan oleh karena itu, cara terbaik mempelajari jiwa adalah lewat
pengamatan terhadap gambaran yang lebih besar tersebut. Sedangkan untuk yang
ketiga, yaitu struktur alam semesta, sebagian besar tidak dapat diamati
langsung; alam semesta terlalu besar dan terlalu jauh untuk dapat dilihat atau
dialami sebagai keseluruhan. Sekarang, jika kita mengikuti nasihat Aristoteles
bahwa kita lebih baik bergerak dari apa yang kita ketahui ke yang tidak kita
ketahui, atau dari apa yang kita ketahui dengan lebih baik kea pa yang kurang
kita ketahui, maka kita mesti bergerak dari struktur kota -sesuatu yang kita
alami secara langsung dan tempat kita hidup- ke struktur jiwa -yang juga kita
alam secara langsung dalam jarak tertentu dan secara tak langsung dalam kota
(yaitu, apa yang tidak kita lihat tetapi kita alami)- dan dari situ ke struktur
ketiga, yaitu seluruh alam semesta -yang sebagian besarnya tidak kita lihat dan
alami, atau kita lihat dan alami hanya sampai tingkat tertentu yang terbatas
saja. Pendekatan itu mungkin tidak membimbing kita cukup jauh, tetapi paling
tidak keuntungannya adalah ia didasarkan pada landasan yang kuat; kita tidak
melompat ke sesuatu yang tidak diketahui tetapi bergerak dengan hati-hati,
langkah demi langkah, dari yang diketahui menuju ke yang tidak diketahui.
Namun, pendekatan ini tidak menarik bagi
orang awam, yang lebih menyukai urutan cara yang berlawanan -yaitu pertama kali
ia lebih suka diberitahu bagaimana jiwanya sendiri tersusun dan apa yang akan
terjadi di kemudian hari terhadapnya jika ia berbuat baik dan menghindarkan
diri dari yang jelek, dan akhirnya diberitahu mengapa ia harus menjadi anggota
suatu komunitas tertentu dan dinasihati bagaimana ia dapat menjadi anggota di
dalamnya. Ini adalah arah yang lebih diinginkan dan lebih meyakinkan bagi orang
awam, sehingga tulisan politik al Farabi bergerak dengan cara ini. Dimulai
dengan kosmologi, dengan struktur alam semesta, sifat-sifat dari masing-masing
bagian utamanya, dan bagaimana bagian-bagian berfungsi bersama-sama; ini
diberikan kepada pembaca seperti pengkhutbah yang menerangkan alam semesta
kepada para pendengarnya -beginilah caranya! Kemudian, dia membahas struktur
jiwa dan struktur tubuh manusia, bagian-bagiannya, dan bagaimana bagian-bagian
tersebut berfungsi bersama-sama. Akhirnya, dia menganalisis struktur kota,
bagaimana bagian-bagiannya harus diorganisasikan dan berbagai cara
pengorganisasian bagian-bagian tersebut yang memang digunakan oleh beberapa
kota, dan dia menjelaskan pendapat-pendapat dan aksi-aksi dari setiap kota
tersebut.
Sejak al Farabi menulis karya-karya politik
tersebut (termasuk 100 tahun terakhir ini, dimana ada usaha untuk membangkitkan
karya-karya tersebut dan mempelajarinya), karya-karya tersebut telah
mengherankan dan memesonakan para pembacanya. Tak seorang pun dapat
menggambarkannya dengan mudah. Inilah karya yang diawali dengan metafisika atau
kosmologi, lalu bergerak ke psikologi dan fisiologi, dan menyimpulkan semua itu
dengan dengan masalah politik. Selama 10 abad sebelumnya, para filosof dan
sarjana pasti melihat buku semacam “Principles of the Opinions of the
Inhibitants of the Firtuous City” dan “Pilitical Regime” dan bertanya,
buku-buku macam apa ini? Struktur penulisan dari karya-karya al Farabi itu
unik. Karena, tidak ada seorang pun, sebelum atau sesudah al Farabi, yang
menulis buku filsafat dengan struktur demikian. Buku-buku tersebut tidak berisi
pembahasan tentang logika, fisika, matematika, psikologi, metafisika, atau
bahkan politik, dan juga buka merupakan buku dialog, serta tidak berbicara
secara ketat tentang penyelidikan filsafat.
Para penerus al Farabi mestinya telah menduga
bahwa orang tidak dapat menganggap apa yang dikatakan dalam buku-buku tersebut
sebagai doktrin atau penyelidikan filsafat – misalnya, orang tidak dapat
mengatakan bahwa buku-buku tersebut adalah doktrin al Farabi mengenai psikologi
dan metafisika. Dan karena mereka tidak dapat memahami sifat dan tujuan
tulisan-tulisan tersebut, para filosof muslim merujuk kepada karya-karya itu
dengan amat penuh perhatian. Sampai sekarang pun orang tak dapat mengutip
bagian mana pun dari buku-buku tersebut untuk mewakili doktrin filsafat al
Farabi tanpa memulai menerangkan mengapa buku-buku tersebut disajikan dengan
cara yang aneh seperti ini. Untungnya, al Farabi sendiri yang menulis
penjelasnnya di dalam buku berjudul “Book of Religion”, sebagai petunjuk
sistematis tentang bagaimana dan mengapa buku-buku tersebut harus ditulis.
Mungkin, cara terbaik untuk menyifati buku-buku politiknya adalah dengan
mengatakan bahwa karya-karya tersebut adalah “surat” yang ditujukan untuk warga
Negara yang tercerahkan dalam masyarakat Muslim, untuk para filosof yang
potensial dan para ahli hukum yang potensial. Sepanjang liku-liku panjang
kehidupannya, al Farabi pergi ke berbagai wilayah yang indah dan asing, yang
tak dikunjungi rekanan muslimnya. Dia banyak membuka pintu gerbang yang
tertutup mereka dan memasuki banyak tempat yang menakjubkan yang belum pernah
mereka masuki. Karya-karya politiknya adalah semacam surat-surat kepada rakyat
di kampong halamannya – pembahasannya sederhana dan langsung, dan tidak
menyebut perjalanan jauhnya (apalagi resiko perjalanan itu); penjelasan itu
ringkas dan ditulis dalam bahasa orang-orang yang tak pernah meninggalkan
kampong halamannya tetapi mempunyai telinga yang tak terkunci dan masih
mempunyai rasa takjub akan sesuatu.
Sekarang, saya akan menyimpulkan dengan
beberapa catatan tentang pentingnya inti perhatian al Farabi terhadap pemikiran
Islam kontemporer, yaitu persoalan realisasi.
Perhatian al Farabi terhadap realisasi tak
terbatas pada keselamatan (pembebasan) individual, tetapi ditujukan kepada
keselamatan masyarakat luas, kepada keselamatan social dan politik. Bahkan
disini perhatian al Farabi tidak hanya kepada satu kota, satu bangsa, atau satu
masyarakat tertentu, tetapi kepada kemanusiaan secara umum, kepada manusia
dimana saja. Fakta sesungguhnya tentang mengapa al Farabi membuat filsafat
politik yang berkenaan dengan kehidupan public manusia di kota-kota,
bangsa-bangsa dan masyarakat beragama sebagai pusat perhatian atau bahkan salah
satu dari pusat perhatian dari filsafatnya menunjukkan bahwa dia tidak puas
dengan pendekatan yang lazim digunakan oleh para filosof Muslim awal dan
pendahulu Neoplatonik mereka pada masa Hellenistik. Pendekatan ini memusatkan
pada keselamatan perorangan sebagai lawan keselamatan umum, pada kebajikan
pribadi sebagai lawan kebajikan umum, dan hanya itulah yang akan membawa
keselamatan dan kebajikan orang per orang.
Filosof yang memperhatikan dirinya sendiri
atau mengutamakan keselamatan pribadinya adalah manusia yang telah berputus asa
terhadap politik, terhadap masyarakat kebanyakan. Ia mungkin berpikir banhwa ia
memahaminya, tetapi ia tidak berpikir bahwa ia tak dapat menyumbang bagi
perbaikan atau peningkatan masyarakatnya. Tetapi, kehidupan masyarakat tidak
kehilangan arti pentingnya karena filosof mengabaikan dan meninggalkannya.
Kehidupan masyarakat selalu penting. Ia menentukan kehidupan setiap orang,
termasuk kehidupan pribadi setiap orang – bahkan kehidupan pribadi filosof itu.
Lebih jauh lagi, keinginan untuk hidup dalam kota dan masyarakat yang mulai,
sopan, terhormat dan manusiawi, dan keinginan untuk menyumbang bagi peningkatan
kualitas kehidupan masyarakat bukanlah keinginan yang tak wajar dan tak lazim.
Sebaliknya, inilah ekspresi perhatian manusia, semangat kecintaan kepada
sesamanya, dan kesenangannya untuk hidup dalam masyarakat yang baik. Maka,
persoalannya adalah apakah filosof harus lebih atau kurang
semangat-kemasyarakatannya disbanding setiap warga yang baik. Bisa jadi
sumbangan utama filosof terhadap kualitas kehidupan rakyat memang mengambil
bentuk peningkatan pemahaman rakyat tentang hakikat dan tujuan kehidupan masyarakat.
Ini berarti bahwa ia pertama kali memahaminya sebagai filosof dan kemudian dan
mengkomunikasikan pemahamannya ini kepada sebagian besar penduduk dengan cara
yang efektif. Tetapi, inilah yang sesungguhnya dilakukan oleh filsafat politik
al Farabi. Dan adalah suatu misteri bahwa pengikut-pengikutnya tidak meneruskan
permulaan yang brilian ini yang telah diciptakan oleh al Farabi, tetapi malah
mengembalikan filsafat kepada perhatian terhadap keselamatan pribadi,
keselamatan individual. Para ahli teologi dan ahli hukum tetap memperjuangkan
masalah kepemimpinan masyarakat dan persoalan hukum rakyat lainnya, tetapi
teologi dan hukum, sebagaimana telah dijernihkan oleh al Farabi, bukanlah
pengganti filsafat politik. Mereka tak memiliki keluasan visi, kebebasan
ruhani, dan kemampuan berkonfrontasi dan memahami secara radikal
situasi-situasi baru yang amat dibutuhkan.
Pengabaian filsafat politik menghancurkan
kualitas filsafat sebagaimana pula kualitas kehidupan masyarakat. Ini membawa
kepada kesempitan wawasan masyarakat, pemiskinan diskusi-diskusi umum tentang
tujuan dan bentuk-bentuk alternative kehidupan masyarakat, kepada kepasrahan,
kepada tak adanya percakapan-percakapan rasional mengenai isu-isu
kemasyarakatan, dan pada puncaknya menyempitkan pilihan bagi warga Negara
terbatas pada konservativisme yang keras atau keimanan buta pada tradisi di
satu pihak, dan dilain pihak pencarian perubahan demi perubahan itu sendiri
yang destruktif. Masyarakat menjadi kehilangan pencerahan mengenai berbagai
bentuk pemerintahan, bagaimana bentuk itu berubah ke bentuk yang lainnya, dan
bagaimana cara memperbaikinya. Inilah warga yang harus dibayar masyarakat
ketika filsafat berpaling dari kehidupan umum.
Selalu ada para filosof yang berpikir bahwa
mereka dapat mencari kebijaksanaan sebagai manusia pribadi, terlepas dari
kualitas kehidupan masyarakat, bahwa mereka hanya ingin mengurusi kebun-kebun
nya sendiri, dan bahwa tugas mereka sebagai filosof adalah untuk
mengeksploitasi kedalaman jiwa, imajinasi, dan intelek mereka sendiri. Mungkin
ada waktu dan tempat yang membutuhkan pandangan-pandangan tersebut. Tetapi
orang tidak perlu membuat kebijaksanaan hanya karena adanya kebutuhan. Al
Farabi sadar akan ketegangan mendasar atas pencarian keselamatan pribadi dan
umum. Tetapi, hampir-hampir dia hanya satu-satunya filosof Muslim yang memilih
mengeksplorasi ketegangan ini dan dalam prosesnya mengajukan semangat kecintaan
kepada sesame yang lahir dari filsafat, serta pemikiran tinggi dan kesetiaan
filosof bagi kesejahteraan sejati masyarakatnya. Disini, dia berjasa besar
sekali kepada masyarakat Islam.
Sayangnya, banyak juga yang lainnya –
orang-orang besar dan terkenal yang karena ketidaktahuan dan keputusasaannya –
mengabaikan kehidupan umum dan masyarakat mereka. Bahkan kini ada
pemikir-premikir terpandang diantara kita yang tidak dapat memahami apa makna
ungkapan “filsafat politik” dan karenanya tidak dapat menuliskannya tanpa
menempatkannya diantara tanda kutip, seolah-olah ingin mengatakan bahwa
ungkapan itu merupakan kata-kata tanpa makna atau bahwa itu mewakili pencarian
tak karuan dari orang-orang yang belum menemukan filsafat yang benar.
Orang-orang ini munkin dapat mengajar banyak hal kepada kita, tetapi mereka
tidak akan pernah mengajar kita bagaimana cara berpikir yang benar terhadap
isu-isu kemasyarakatan, bagaimana menigkatkan nasib kebanyakan manusia sesame
kita, atau bagaimana membangun dan mempertahankan suatu masyarakat dimana
filsafat dan ilmu dapat dicapai tanpa resiko besar bagi pencari pengetahuan
atau anggota masyarakat lainnya.
Persamaan Filsafat Politik al-Farabi
dengan Pemikiran Politik Syiah
Anggota
Delegasi Ilmiah Universitas Wali al-Ashr (as), Rafsanjani dalam keterangannya
menyatakan bahwa filosofi masyarakat madani (madinah al-faadilah) yang dianut
oleh al-Farabi sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, ia mengatakan, “Dikatakan
sebagai masyarakat yang terbaik adalah masyarakat yang dipimping oleh seorang
Nabi saw dan para penerusnya.”
Iqna mengutip
laporan dari Anggota Delegasi Ilmiah Universitas Wali al-Ashr (as), Ashghar
Sulaimi Zadeh, Rafsanjani dan mahasiswa phD Filsafat Universitas Isfahan pada
Kamis kemarin, pada Konferensi al-Farabi dan Pendiri Filsafat Islam dalam
menerangkan isi makalahnya menyatakan bahwa filsafat politik al-Farabi
merupakan pengaruh dari pemikiran-pemikiran Plato, pelopor masyarakat madani.
Adapun berkenaan dengan imamah merupakan pengaruh dari pemikiran Syiah.
Peneliti dan
dosen universitas ini pada ceramahnya menegaskan, pemimpin dari masyarakat
madani adalah seorang yang diberi petunjuk malalui jalan agama dan pemimpin
umat dengan mengatakan, “Pemimpin masyarakat religius menurut al-Farabi adalah
ketika ia memegang tanggung jawab, maka ia memimpin rakyat dengan kedamaian dan
memberikan petunjuk sesuai dengan agama wahyu.”
Mahasiswa phD
Filsafat Universitas Isfahan ini menegaskan bahwa filsafat politik al-Farabi
dengan pemikiran politik Syiah memiliki banyak persaman dengan mengatakan,
“Seluruh kriteria yang disebutkan oleh al-Farabi tentang masyarakat madani
memiliki kriteria-kriteria yang telah disebutkan di dalam ajaran Islam untuk
kepemimpinan dan para pelaksana perkara-perkara yang berhubungan dengan
pengaturan umum di masyarakat Islam dan persoalan mengenai fitrah, persamaan
dan kehendak berasal dari ajaran-ajaran Islam, yang menambah khazanah ilmu
kepada filsafat politiknya.
Sulaimi dalam
lanjutan ceramahnya menyatakan, al-Farabi menyakini gradasi wujud. Karena itu,
masyarakat memiliki tingkatan dan yang terbaik adalah masyarakat madani yang
dipimpin oleh seorang nabi dan para penerusnya. al-Farabi mengenalkan tauhid
dan menyembah satu Tuhan sebagai pondasi terbaik dari masyarakat madani.
Ia menegaskan
bahwa al-Farabi berpendapat bahwa manusia adalah sebuah eksitensi sosial dan
al-Farabi mengenalkan aturan sosial sebagai aturan pilihan (ikhtiar), baik itu
yang berhubungan dengan aturan alam tabiat dan menitik beratkan perhatian
kepada mayarakat. Realitasnya adalah melalui kepemimpinan Nabi saw.
Hukum politik
Islam seputar persoalan imamah dan penerus setelah Nabi saw sesuai dengan
pemikiran syiah sebagai sebuah prinsip pokok dalam pembahasan teologi dan
penerus setelah Nabi saw adalah bukan melalui pemilihan, melainkan
pengangkatan.
Adapun imamah
dalam pandangan al-Quran, Sulaimi menegaskan bahwa imamah adalah realisasi
dalam khalifah Ilahi dan filsafat politik al-Farabi memiliki banyak kesamaan
dengan pemikiran politik Syiah.
Perlu diketahui
bahwa Konferensi ‘al-Farabi dan Pelopor Filsafat Islam’, diselenggarakan oleh
Lembaga Hikmah Islam Mulla Sadra, diisi dengan acara ceramah dan pemaparan
makalah dari berbagai negara, di gedung Sadra Mutaalihin pada Rabu dan Kamis
kemarin.